Pesan-pesan singkat Adi Satya, berupa larik-larik puisi, tidak dapat kupahami sedikit pun dan tidak pernah kutanggapi serius. Aku lantas bertanya-tanya kapan dia menyukai sastra? Setahuku, semasa kuliah dulu dia pecandu buku-buku ilmiah. Lagi pula, kesibukan berkutat dengan tumpukan diktat MIPA Kimia tidak memungkinkannya menjadi sastrawan.
Suatu sore ketika aku berada di kafe bersama seorang teman lelakiku, satu pesan kuterima dari Adi Satya—masih berbentuk larik-larik puisi aneh.
“Dada sesak dijejal polutan udara penuh partikel mikron. Telinga menangkap suara-suara sibuk 20kHz pecahkan kepala. Aku terjebak di ujung irisan kerucut Apollonius serta gagasan besar Descartes. Bebaskan aku!”
Aku membalas singkat pesan Adi Satya itu untuk sekadar membuatnya senang: keren. Perihal makna di balik kalimat-kalimat anehnya, aku tidak tertarik mencari tahu, bahkan tidak ingin pula bertanya kepadanya. Teman lelakiku, lulusan ekonomi dan penyuka puisi, turut membaca pesan itu.
“Apakah dia masih jomlo?” tanya teman lelakiku itu.
“Ya.”
“Dia hanya mencari perhatian dan teman bicara.”
“Kurasa dia sudah mulai bosan dengan buku-buku ilmiahnya.”
Setamat kuliah aku dan Adi Satya bergabung dalam satu grup WhatsApp alumni kampus. Grup ini selalu ramai membahas apa saja: kabar masing-masing, gosip, pendidikan, politik, sampai persoalan agama. Adi Satya pun sesekali ikut mengisi ruang grup. Hanya saja, dia lebih sering mengirim tulisan-tulisan janggal: tentang kehidupan dan kematian. Ujung-ujungnya dia mulai rajin mengirim puisi-puisi aneh. Entah mengapa penghuni grup tidak ada yang merespons, kecuali aku, meski responsku hanya berupa emoticon acungan jempol. Adi Satya pun membalas kembali dengan ungkapan “terima kasih”. Semenjak itu, dia rajin berkirim pesan ke nomor pribadiku. Mungkin karena aku dianggap mengapresiasi setiap tulisan janggalnya. Sementara itu, grup menjadi seperti kuburan, lalu bubar.
Beberapa tahun berselang aku tidak lagi mendapat pesan dari Adi Satya. Bisa jadi dia bosan terhadap caraku menggubrisnya atau mungkin sedang sibuk melanjutkan kuliah. Seingatku, dia pernah mengatakan ingin terus kuliah hingga S-3.
Selanjutnya, aku tidak pernah menghubunginya lagi, pun sebaliknya, sampai aku menikah dengan teman lelakiku, yang lulusan ekonomi itu—dan aku mengundang Adi Satya, tetapi dia tidak datang.