“Ya.” Aku menjawab disertai anggukan.
“Ibu istrinya?"
“Ya, betul, Pak,” jawabku lagi, meyakinkan.
Seseorang menurunkan koper pakaian dari dalam mobil. Bukankah itu koper pakaian Mas bayu? Ya, aku ingat dengan jelas, koper yang dibawa Mas Bayu pergi dalam perjalanan dinasnya. Ah, mungkin saja koper Mas bayu ketinggalan dan diantarkan oleh bapak-bapak ini.
Aku mempersilahkan mereka masuk dan duduk di ruang tamu. Seorang dari mereka menjelaskan dengan sangat hati-hati dan lugas, bahwa sore ini sekitar pukul lima telah terjadi kecelakaan tunggal di jalan tol. Setelah dilakukan pertolongan dan evakuasi, korban langsung dibawa ke rumah sakit dengan upaya bisa diselamatkan. Tidak ada yang bisa dihubungi, karena telepon genggam korban tidak ditemukan. Perasaan mulai tidak enak.
Bapak yang duduk di depanku mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan menyerahkannya kepadaku. Dompet Mas Bayu? Ya betul, ada foto kami berdua di dalamnya. Kartu identitasnya pun lengkap. Berdasarkan kartu identitas di dompet inilah, bapak-bapak ini akhirnya sampai ke alamat rumah kami. Begitu penjelasannya.
"Ini maksudnya apa ya Pak? suami saya baru saja pulang. Dia di dalam kamar, sedang mandi. Apa mau saya panggilkan?" Aku bertanya-tanya penuh kebingungan.
Aku mulai merasa tak nyaman. Jangan-jangan ini sebuah modus perampokan atau penipuan. Namun, gelagat mereka tidak menunjukkan hal tersebut.
"Mohon maaf Ibu. Korban kecelakaan tunggal itu atas nama Bapak Bayu Maulana. Sekali lagi kami mohon maaf, sudah menyampaikan berita ini. Korban tidak bisa diselamatkan, pendarahannya cukup banyak. Kami memutuskan ke sini untuk memberitahu Ibu."
Wanita berbadan tegap mengelus lembut bagian punggung tubuhku seolah ingin memberikan ketenangan pada sebuah reaksi tidak percaya. Aku berdiri dan berlari menuju kamar. Berupaya agar tidak terkecoh dan mencoba yakin kalau kedatangan para polisi ini salah. Ya, mereka bisa saja salah dalam mengidentifikasi korban kecelakaan.
Kubuka pintu kamar. "Mas! Maaas …!"