Baru saja hendak menggelindingkan dua roda kesayangan, lengkingan fals Gina tiba-tiba terdengar dari dalam rumah.
"Pa ... tunggu, Pa!" Tergopoh-gopoh ia berlari. Kedua tangannya berlumuran tepung adonan kue. Begitulah Gina. Saat libur kerja, istriku itu memang acap kali berkreasi di dapur, menyalurkan hobi mengutak-atik menu makanan.
"Ada apa, Ma? Kan tadi sudah pamit," tanyaku heran.
"Iya. Habis dari bengkel, trus ... Papa mau ke mana?"
"Pulang."
"Nah, sekalian mama nitip, ya. Mama gak bisa ninggalin dapur, nih. Takut gosong. Bisa ya, Pa?" pintanya beralasan.
"Ya, bisa. Titip apa?" Kalau pun kujawab tidak bisa, tetap saja ujung-ujungnya harus bisa.
"Sebentar ... sebentar." Gina berbalik ke dalam.
Tak berapa lama, ia keluar lagi, lalu mengulurkan secarik kertas bergaris. Entah, kertas dari buku mana yang disobek. Buku tulis Anggia, mungkin. Tadi kulihat putri semata wayangku itu sedang belajar di ruang tamu.
"Tuh, udah mama tulis, dikit kok," tunjuknya, "Jangan sampe salah, lho!"