Mohon tunggu...
Risang Qudrotu Pratama
Risang Qudrotu Pratama Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Badminton

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rumit

3 Oktober 2022   11:05 Diperbarui: 3 Oktober 2022   11:28 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Awal tahun 2020, awal saya bisa merasakan kepercayaan terhadap seseorang lagi, awal saya bisa menerima ucapan orang lain lagi, awal saya mampu berbicara tanpa merasa risau terdapat kedustaan. Naik tingkat ke kelas 10 rasanya seperti akhir dari kecerobahan pendidikan, karena menengah atas sudah bukan waktunya teledor dalam pendidikan, yaa walaupun yang saya jalani saat ini masih banyak keteledoran yang saya buat.

Merasa dibutuhkan seutuhnya oleh seseorang rasanya sangat luar biasa bagi saya, dan itu baru saya rasakan lagi pada awal 2020. Mungkin terdengar lelucon sepasang remaja labil sudah cinta cintaan, tapi gimana yah, sulit dijelaskan sih karena ada sesuatu yang bertentangan dengan proses itu..

Saya tidak akan sebut nama, tapi dia yang setiap hari membuat saya merasa khawatir, membuat saya peduli, yang sebelumnya belum pernah saya rasakan. Di awal saya menyebutkan jika saya baru bisa merasakan keprcayaan terhadap seseorang lagi, dalam konteks romansa. Saya orang yang berprinsip dalam hal apapun termasuk hal seperti ini, romansa menurut saya bukan untuk main main lagi walaupun pada saat itu masih berusaha 16 tahun, suatu support system bagi saya karena keadaan di rumah bertolak belakang belakang pada saat itu.

Pertama kali juga saya mempunyai nyali untuk mempertahankan seseorang, yang terbilang saya cukup pengecut untuk bertengkar, bahkan beradu mulut pun saya masih gugup. Karena dia saya berani mengesampingkan sikap pengecut saya untuk menghadapi kesalahpahaman dengan orang berandal, berengsek, apapun kata kasar saya tujukan untuk dia. Sungguh suatu kesempurnaan dikala itu saya bisa mempunyai hubungan dengan dia.

Tapi itu hanya seutas kebahagiaannya, tidak mungkin suatu hubungan terlihat adem ayem terus menerus. Di sisi ini sangat rumit dijabarkan, karena konflik ini bukan hanya dari kacamata sebuah hubungan remaja laki laki dan perempuan, tetapi dari hubungan anak dan orang tua juga. Saya berani mengingkari janji saya kepada sahabat bahwa saya tidak akan "berpacaran" lagi. Memang kami dikala itu tidak mempunyai status, tapi jika dipikir pikir itu lebih baik bukan? Tapi konflik keluarga membuat saya membutuhkan dekapan lebih dari yang saya dapat. Dia lah yang saya temukan, dia yang senantiasa mendengarkan cerita saya, bahkan saat kabur dari rumah pun saya masih di khawatirkan disaat orang tua saya tidak memikirkan itu.

Ini bukan masalah sepele, dahulu, ini menyangkut suku. Saya akui Papah saya rasis, karena pengalaman teman temannya yang membuat dia begitu. Saya tidak akan menjelaskan lebih dalam bagaimana rasis nya Papah saya sampai saya terpaksa berakhir dengan dia, selain karena rasa yang hilang. Begitu juga dengan dia yang tidak baik baik saja soal kekeluargaan, salah satu yang membuat saya sampai saat itu bertahan dengan dia, karena perasaan satu nasib, kurang dekapan dari yang kita butuhkan. Saya juga tidak akan menjelaskan hal tersebut karena itu bukan ranah saya berbicara tentang privasi orang lain. Sungguh kompleks sekali hubungan ini jika dipikir pikir.

Kecerobohan saya ternyata bukan hanya dalam menentukan biloks, saya pun tidak bisa mengungkapkan apa yang seharusnya di ungkapkan karena saya takut menyakiti hati seseorang. Di kala itu kami sudah bercengkrama tentang rasis tadi, tapi itu saya jadikan alasan utama dibalik alasan utama lainnya. Saya tau perasaan kita terhadap seseorang tidak bisa dipaksa, tapi saya bukan orang frontal. Kebingungan membuat saya terus mencari alasan agar alasan utama yang sesungguhnya tidak terungkap. Dan pada akhirnya puncak konflik sesungguhnya terletak disini dari sekian konflik kami.

Kesalahpahaman terus menerus terjadi dan untuk yang terakhir kalinya, ini yang membuat kami tidak lagi berbicara satu sama lain sampai detik ini. Tidak perlu dijelaskan karena ini konflik privat, yang intinya kami berdua berbeda pandangan, berbeda pendapat, berbeda argumen, dan berbeda perasaan. Konflik keluarga saya hiraukan karena terlalu repot untuk saya urus, di pikir pikir kenapa juga saya harus turun tangan. Saya lebih mementingkan perselisihan ini. Dan pada akhirnya, kami kembali asing. Ini tidak sesingkat yang kalian pikirkan, panjang perjalanan sampai kami menemukan akhir kata dari tiap bibir yang mengucap jutaan kata.

Sebuah kisah yang sepertinya kurang layak untuk di unggah dalam kompasiana, karena ini mengandung unsur romansa. Tapi kisah ini lebih saya tangisi ketimbang juara 2 badminton tingkat Provinsi. Saya bukan menyesali hancurnya hubungan ini, saya hanya menyayangkan apa yang kami sudah lewati bersama selama kurang lebih 2 tahun, berkat dia saya dapat banyak hal baru yang sebelumnya belum pernah saya lihat, rasakan, dan bayangkan. Terutama soal keluarga. Saya kira masalah orang tua saya adalah masalah sebesar besarnya dalam rumah tangga, ternyata dia menanggung beban lebih berat dibandingkan saya. Dibalik kisah ini saya sangat ingin berterima kasih atas apa yang sudah saya terima, semuanya apapun itu. Semoga kami bahagia dalam jalannya masing masing.

Tujuan saya hanya ingin mengungkapkan kisah yang saya sendiri pernah tangisi, dan itu sedih.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun