Mohon tunggu...
Shulhan
Shulhan Mohon Tunggu... Dosen - Santri KH. Hafidhi Syarbini dan KH Abdurrahaman Alkayyis, Ph.D., pengiat sosial keagamaan, peneliti, inisiator thariqah akademik.

think and act differently to be excellent

Selanjutnya

Tutup

Hobby

KH Hafidhi Syarbini dan Ijtihad Penguatan Generasi Santri

2 Juni 2020   23:51 Diperbarui: 3 Juni 2020   00:49 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

KH Hafidhi Syarbini merupakan salah satu santri terbaik KH Maemon Zubair Sarang dan pendiri pesantren di Batuan Sumenep. Setelah memperoleh petunjuk melalui mimpu, pesantran yang dirintisnya diberi nama Darul Istiqomah. Di lembaga ini beliau menanamkan kultur kehidupan yang inklusif dan moderat. Meskipun pesantren ini difokuskan bagi pelajar atau santri untuk mendalami kitab-kitab klasik dengan berbagai genre-nya seperti fiqih, tasawuf, tafsir dan ilmu kebahasaan, santri dibolehkan untuk mengenyam pendidikan formal di luar pesatren mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.

Kiai Hafidhi, sapaan akrab masyarakat, adalah pengurus teras Pengurus Cabang Nahdhatul Ulama  (PCNU) Kab. Sumenep setelah beberapa tahun berkhidmat di lembaga bahtsul masail (LBM) PCNU. Kiai ini mulai dikelanal publik melaui progam “semanis kurma” dan “mudzakarah” yang disiarkan RRI Kab. Sumenep. Siaran semanis kurma setiap sore salama bulan ramadhan dan siaran mudzkaroh setiap jumat sore sepanjang tahun. Program siaran ini ialah kegiatan interaktif tanya jawab problematikan hukum islam. Sejak itu kiai mulai dikenal oleh mayarakat Sumenep dan sekitarnya sebagai pakar dibidang fikih dan logika. Kiai juga sering menjadi pembicara dalam seminar dan pengajian di luar kesibukannya sebagai pengasuh dan pendidik di pesantren tentunya.

Inovasi dan terobosan yang dilakukan oleh Kiai Hafidhi antara lain:

Acelerative Method dan Active Learning

Menyadari pentingnya kemampuan membaca kitab thurath bagi setiap santri serta sulitnya proses untuk mencapai kompetensi ini, beliau menyusun kitab Al-Fashih. Kitab ini dirancang untuk memudahkan pemula agar mampu membaca kitab salaf dengan baik dan membutuhkan waktu yang relatif singkat. Kebaruan (novelty)metode ini terletak pada penempatan tema idhafah (kalimat majemuk) di bagian awal pelajaran, berbeda dari kitab-kitab aslinya yang menempatkan di bagian akhir bahasan. Selain itu, pembelajaran dirancang dengan empat pendekatan (approach) yang dilaksanan secara beruntun (sequence), yaitu, sighat, makna, jumlah dan murad. 

Sighat atau kelas kata diperlukan untuk mengindetifikasi kata dasar dan perubahan makna yang ditimbulkan dari perubahan kelas kata tersebut. Satu kata dalam bahasa arab bisa dikembangkan menjadi beberapa kata melalui metomorfosa baku yang berimplikasi kepada perubahan arti. Satu kata juga cenderung memiliki banya alternatif cara baca dan maknanya berubah pula seperti من bisa dibaca man, min, munna, manna dan mannun. Jumlah adalah sebutan kalimat dalam bahasa arab. Pemilihan bentuk kalimat tersebut merepresentasikan intensitas penulis. Sedengkan murad adalah pesan yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembaca. tanpa diikat pemahaman yang utuh terhadap maksud penulis, tulisan arab tanpa harkat bisa saja dibaca sesuai kehendak pembaca dan itu memungkinkan misunderstanding.

Untuk memahami pesan yang dinginkan penulis, pembaca selain menguasai empat hal diatas juga dituntut untuk memiliki sense yang terbentuk dari seringnya membaca. Penguasaan terhadap ilmu logika akan membantu memudahkan memahami apa yang dimaksudkan pengarang kitab yang sedang dibaca. Memahami kitab kuning tidak cukup hanya berbekal nahwu sharraf (ilmu dasar memcaba naskah klasik), tetapi juga dibutuhkan disiplin lain seperti ilmu balaghah, ilmu mantiq, ilmu sejarah, ilmu sosiologi bahkan ilmu matematika dasar. hal itu diperlukan untuk memudahkan santri memahami isi bacaan kitab dalam pendekaan tekstual secara untuh dan konstektstual secara komprehensip.    

Implementasi pembelajaran di pesantren ini menekankan kemandirian peserta didik. Mereka dilatih untuk menggali dan memahami isi kitab secara mandiri. Jika mendapatkan hal sulit, mereka sharing dengan sesama santri dan kakak tingkat atau melalukan peer teaching untuk menyelesaikan problem yang dihadapi. Kemudian diadakan program sorogan, menyetorkan hasil belajar mandiri kepada kiai atau ustadz. Para santri bergiliran membaca kitab dan menjelaskan kandungaya berdasarkan hasil interpretasi yng mereka kembangkan. Setelah itu, kiai atau ustadz mengeksplorasi sejauh mana penguasaan santri dengan cara mengajukan pertanyaa kritis. Jika santri tersebut mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan gurunya dan mampu mempertahankan argumennya bisa berpindah ke materi selanjutnya.

Praktik ini melatih santri untuk menguasai pelajaran dengan memahami prinsip-prinsip dasar dengan kuat. Pola ini dapat membentuk mereka kuat dalam hal metode dan mampu mengembangkan nalar kritis dan sintesa pemikiran yang brilian. Prosen belajar ini memberikan ruang bagi peserta didik untuk mengetahui (learning to know)secara memdalam disiplin yang dipelajari. Sebagai makhluk sosial, setiap orang memerlukan intervensi orang lain untuk menyelasaikan masalah yang dihadapi (learning together). Untuk membantu santri mampu mengamalkan ilmu yang telah diproleh, kiai mendorong melaksanakan sholat lima waktu berjemaah, memasak dan mencuci pakaian sendiri dan membersihkan lingkungan pesantren (learning to do).   

Kederisasi

Bagian terpenting dalam penguatan komunitas santri ialah kaderisasi. Di kalangan pesantren salaf (tradisional) proses kaderisasi berjalan secara natural tidak didesain secara terencana untuk generasi berikutnya. Keadaan ini berpotensi lahirnya generasi prematur seperti contoh putra mahkota kiai terpaksa menggantikan kedudukan ayahnya ketika wafat sebagai kiai hanya kerena keturunannya bukan karena keilmuan dan skillnya. Disamping itu, kecenderungan kultur pesantren tradisional menempatkan orang-orang di sekitarnya sebagai pengikut (audien) pasif meskipun secara keilmuan dan kecapakan tidak kalah mempuni. Dua hal ini memungkinkan degradasi kualitas generasi santri karena lahirnya kiai biologis (karena keturunan) bukan kiai fungsional (kerena ilmu dan kemampuan). selain itu kader-kader terbaik yang tidak mendapatkan ruang aktualisasi dengan semestinya akan mencari ruang lain yang lebih menerimanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun