Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengadopsi Spirit Agama dalam Politik

14 Mei 2019   22:02 Diperbarui: 25 Mei 2019   19:32 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari geotimes.co.id

Membincangkan nilai-nilai luhur agama yang diekstraksi ke dalam sistem politik bangsa ini, tentu saja sesuatu yang penting dan dibutuhkan saat ini. Bahkan, kalau kita tak bisa menggunakan etika universal, barangkali bisa kita ikuti nasihat-nasihat agama dalam berpolitik; yang santun dan beradab, juga menjauhkan diri dari hasrat berkuasa yang sesat.

Khusus untuk para pemimpin, siapapun yang nanti memenangkan Pilpres 2019 ini maupun yang kalah, haruslah menunjukkan sikap-sikap kesalihan politik (asketisme politik), bila perlu mencontoh cara berpolitik pemimpin-pemimpin terdahulu. Yang menang tidak jemawa dan yang kalah tidak dendam, begitulah seharusnya.

Saya pernah membaca salah satu penggalan pidato Abu Bakar Ash-Shiddiq yang teramat sangat terkenal saat bertugas di hari pertama sebagai Khalifah Islam kala itu? 

Khalifah Abu Bakar berkata: "Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin, bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semua. Untuk itu, jika aku berbuat baik, bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku."

Khalifah Abu Bakar menunjukkan bahwa seorang pemimpin haruslah asketis (shaleh), populis, dekat dengan rakyat, terbuka dengan kritik dan saran, cerdas membuat keputusan dan cekatan bertindak. Khalifah Abu Bakar tidak mengambil jarak dengan rakyat, bahkan saban hari rakyat bisa menjumpai khalifah di kantornya, Masjid Nabawi.

Begitupun Umar bin Khattab, suatu kali rumahnya diketuk seorang warga yang hendak meminta tolong. Umar yang membuka pintu menjawab pada warga tersebut untuk kembali lagi keesokan harinya karena waktu sudah larut malam. Namun di luar dugaan, sang tamu khalifah itu menjawab: 

"Demi Allah ya Umar, apakah engkau yakin akan hidup sampai esok hari? Seketika air mata Umar menetes deras dan menyilakan tamunya masuk dan mengadu."

Bagaimana dengan pemimpin saat ini, terkhusus di Indonesia? Kalau kita membahas politik kekinian, maka pemimpin yang berani menyelesaikan konflik horizontal secara elegan adalah pemimpin yang nalar politiknya bagus dan jiwa asketisnya mumpuni. Karena itu, tentu masyarakat berharap kepada para elite politik agar lebih serius melakukan rekonsiliasi sosial masyarakat supaya tak terjadi friksi yang lebih parah pascapemilu dan tidak sibuk membagi-bagi kue kemenangan saja atau gencar merawat keributan akibat kalah dalam kontestasi.

Pemimpin adalah suri tauladan, memimpin dengan tindakan dan hikmah (Dakwah Bil Haal & Dakwah Bil Hikmah), lalu adanya kesesuaian antara janji kampanye dan fakta faktual saat menjabat. Begitupun masyarakat, tidak menyerahkan tampuk legitimasi kepemimpinan begitu saja, tapi melakukan pengawasan kritis sepanjang periode sang pemimpin.

Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (1930), menjelaskan konsep asketisme politik sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakan demi kemaslahatan rakyat banyak.

Kita juga tentu mengenal istilah zuhud dalam khazanah sufisme, yang dalam term politik dimaknai sebagai sikap eskapisme atau mengalienasi diri dari syahwat politik, latihan hidup sederhana dan bersahaja. Asketisme politik lebih diarahkan untuk meningkatkan kesalehan berpolitik, baik di tingkat pribadi maupun institusional. Sehingga, agama bukanlah alat politik bagi para pemburu kekuasaan melainkan sebagai alat kendali atas ketimpangan sikap politik.

Kalau kita merujuk pada tesis Marx, rasanya kita tak lagi bisa menyangkal bahwa saat ini agama secara politik praksis difungsikan untuk memelihara status quo suatu kelas sosial yang berkuasa atas kelas sosial lain dalam masyarakat. Agama adalah "candu" kelas elite, dimana dalil-dalilnya digunakan sebagai legitimasi kekuasaan dan mengeksploitasi konstituen.

Lantas, haramkah agama dikorelasikan dengan politik? Tentu tidak. Bila agama ingin ditarik ke ranah politik, maka kedua subjek ini lebih pas diakrabkan secara sosiologis, yang mana semua agama dipandang sama dalam kehidupan sosial manusia, termasuk dalam politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun