Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Hoaks dan Narasi Delegitimasi Penyelenggara Pemilu

15 April 2019   19:59 Diperbarui: 15 April 2019   20:20 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: rri.co.id

Saya pernah menulis tentang lemahnya sistem imun sosial kita akibat hoax sepanjang perhelatan politik lima tahunan ini. Sistem imun sosial kita sebagai bangsa majemuk nampak melemah disebabkan narasi bohong dan agitasi yang didistribusikan selama musim pemilu ini, mulai dari Pilpres hingga Pileg yang mulai memanggang kewarasan kita.

Sila perhatikan sekeliling kita, banyak orang gampang terserang hasutan dan terjangkit iri hati, lantaran tak kuat menahan suhu Pilpres dan Pilkada yang terus memanas dan akhirnya kita "halu jamaatan" alias keder bareng. Kita, tak lagi mampu membedakan mana realitas rekaan dan mana fakta yang verifikatif.

Ribut-ribut di akar rumput (grassroots) ramai terdengar, menyoal siapa mendukung siapa. Perbincangan politik masyarakat berseliweran di ruang-ruang publik virtual (new public sphere), kisruh mewakili realitas sebenarnya. Anomali sosial pun bermunculan, ada friksi haters vs lovers, hingga tumbuh faksi-faksi ekstrimis yang cenderung memfragmentasi masyarakat secara hitam putih.

Nah, sejam September 2018 hingga menjelang H-2 pencoblosan, justru secara sporadic justru sejumlah hoax yang mulai diarahkan untuk memantik kecurigaan publik sekaligus mendelegitimasi penyelenggara pemilu. Sebut saja kasus kabar tipu-tipu surat suara tuju kontainer yang tercoblok si tanjung priok. Bayangkan, 7 kontainer bukanlah sedikit jika menghitung daya tamping container tersebut dengan surat suara yang ada di dalamnya.

Alhamdulillah, polisi beserta penyelenggara pemilu berhasil menepis isu kibul tersebut bahkan beberapa tersangka sudah diamankan polisi. Namun sekana belum jera, kini muncul isu penggerebekan di Selangor, Malaysia, yang kini semakin membingungkan publik lantaran sudah digoreng sedemikian rupa sehingga tidak jelas lagi apakah benar itu tindak pidana atau hoaks. 

Publik kedua kubu akhirnya saling lempar tudingan, termasuk elit. Selain itu, secara manajemen isu, hal ini merugikan pesangan petahana sekaligus menyudutkan penyelenggara pemilu lantaran dianggap berpihak pada kandidat dan caleg tertentu.

Lantas, mengapa harus kabar kibul terus yang diriwayatkan selama ini? Dari perspektif komunikasi politik, dikenal dengan konsep heteronomi komunikasi dimana seorang komunikator menyampaikan pesan kepada pihak lain dengan didasari prinsip-prinsip moral yang bersifat eksternal bukan karena kesadaran otonom dirinya tentang arti penting moralitas dalam berkomunikasi.

Heteronomi komunikasi itu dipandu oleh prinsip hypotesis imperative, yakni berlakunya syarat mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sebagai contoh, syahwat menang dalam pilpres yang tinggi, membuat kedua kubu harus menyerang lawan dengan ragam cara, termasuk hoax.

Padahal, komunikasi politik (termasuk kampanye) yang ideal itu, ya, yang dipandu oleh prinsip categories imperative dimana tingkah laku seseorang dalam berkomunikasi dilandasi moralitas dari dalam dirinya sendiri, bukan sekadar ingin mencapai kepentingan atau tujuan pragmatis semata.

Selain itu, kalau dilihat dari pandangan Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra yang berefek pada reality by proxy dan solusi imajiner, ternyata menggambarkan bahwa sajian realitas politik saat ini baik lewat kanal media arusutama maupun media sosial merupakan simulasi realitas yang seolah-olah mewakili kenyataan. Realitas yang dibangun para hoaxer membuat kita sulit membedakan antara imajinasi dan fakta sebenarnya.

Reality by proxy ini sejatinya dimaksudkan sebagai ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Menyoal hoax 7 kontainer surat suara tercoblos dan kasus pencoblosan surat suara di Malaysia misalkan, publik disuguhkan dengan tingkah lempar isu namun dengan bahasa multitafsir, seperti apa yang disampaikan Andi Arief lewat akun twitternya itu atau memviralkan video penggerebekan tanpa melibatkan aparat hukum dan pengurus berwenang dari lembaga penyelenggara pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun