Mohon tunggu...
Shovita Putri Dinanti
Shovita Putri Dinanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - IR Student

beginner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dikotomi dan Solusi Ketahanan Pangan di Indonesia

27 Oktober 2021   14:08 Diperbarui: 27 Oktober 2021   14:10 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini juga meliputi sebagaimana yang kita ketahui bahwa Indonesia memiliki begitu banyak jenis-jenis panganan khas yang berbeda di setiap daerahnya. Menjadi warga negara Indonesia, hidup pada kawasan yang dipenuhi beragam pilihan sumber pangan seharusnya menjadi keuntungan. Namun, jika melihat dari sisi ketahanan pangan (food security), memiliki kekayaan sumber daya alam saja tidak dapat menjamin bahwa setiap orang di Indonesia secara adil dapat terpenuhi kebutuhan pangannya. Melainkan, perlunya keleluasaan akses bagi setiap orang untuk memenuhi kebutuhan dasar nutrisi pokoknya.

Melalui aktivitas di media sosial, saya menemukan informasi bahwa Indonesia mengalami penurunan distribusi serta konsumsi pangan bernutrisi setiap tahunnya. Tercatat pada Global Hunger Index 2019, Indonesia menempati posisi ke-70 dari 117 negara di dunia dengan total skor 20,1-yang berarti Indonesia mengalami kondisi serius pada tingkat kelaparan dan kekurangan gizi. Namun di sisi lain, Indonesia justru mengalami peningkatan pada tingkat food waste atau sampah makanan (yang terbuang) sejak tahun 2000. Kedua hal ini saling bertabrakan dan menciptakan dikotomi pada bidang ketahanan pangan di Indonesia. Karenanya saya harap Indonesia dapat melakukan pembenahan untuk meluruskan dikotomi ini melalui 3 poin yaitu pengembangan teknologi produksi pangan; meningkatkan kompetisi pada sektor agrikultur; dan memfasilitasi kebutuhan dasar masyarakat.

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris terbesar di dunia, sehingga warga negaranya pun sebagian bergantung secara ekonomi pada sektor ini. Namun, tak jarang terdengar bahwa Indonesia juga kerap kali melakukan impor bahan-bahan pokok pertanian dari negara lain (beras dari Vietnam misalnya). Salah satu alasan tindakan ini yaitu sebagai akibat dari kegagalan panen karena cuaca tak menentu maupun keterbatasan produksi bahan pangan akibat dari kurangnya jumlah produsen daripada konsumen yang membutuhkan. 

Menyinggung isu food waste yang telah disebut sebelumnya, Indonesia diperkirakan membuang bahan makanan hingga sekitar hampir 200 kilogram per tahunnya (paling banyak komoditas sayur-sayuran dan padi-padian). Hal ini merupakan dampak dari pengelolaan yang tidak efisien, termasuk rendahnya kualitas ruang penyimpanan dan juga faktor perilaku konsumen. Bisa dibayangkan seberapa besar kerugian secara ekonomi yang diterima Indonesia-yang akan jauh lebih baik jika bisa dialokasikan pada masyarakat dengan keterbatasan akses makanan.

Dari sini seharusnya bisa dilihat bahwa Indonesia kekurangan teknologi produksi pangan yang memadai serta strategi yang tepat untuk menjaga dan mengelola kualitas makanan, serta mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Dengan mempertimbangkan dasar-dasar tersebut, pemerintah perlu memperhatikan alokasi dana pada bidang research and development yang dapat mengembangkan teknologi-teknologi dengan kemampuan mengatasi permasalahan tersebut. 

Ketersediaan dan pemanfaatan teknologi produksi yang optimal nantinya dapat mengurangi kebutuhan impor bahan pokok sehingga bisa fokus kembali pada perkembangan komoditas lokal. Selain itu, juga dapat menekan biaya produksi sehingga harga jual akan jauh lebih murah bagi konsumen, dengan begitu akses terhadap makanan bernutrisi mengalami perluasan.

Selanjutnya, diperlukan dukungan dari sistem pasar maupun pemerintah untuk dapat meningkatkan kompetisi pada sektor produksi bahan pokok (agrikultur). Tingkat kompetisi yang tinggi juga akan membuat harga jual barang turun sehingga konsumen dari kalangan kurang mampu pun dapat dengan mudah menjangkaunya. 

Urgensi kompetisi pada sektor agrikultur ini membuktikan bahwa seharusnya, fokus pembangunan tidak hanya terbatas pada perwujudan modernisasi di kota-kota besar namun dengan menyeimbangkannya bersama sektor tradisional pada kawasan perdesaan-yang dikenal banyak menyimpan kekayaan sumber daya alam. 

Sayangnya, mayoritas penduduk perdesaan memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah, sehingga mereka hanya mengandalkan pengetahuan yang didapatkan turun temurun untuk mengelola lahan. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena warga desa sangat berperan penting pada sektor yang mendukung produksi bahan pangan bernutrisi. Oleh karena itu, muncullah tantangan bagi para generasi penerus bangsa untuk memajukan sektor tradisional dengan inovasi yang bisa membawa efisiensi dan efektivitas pada proses produksi bahan pangan ini. 

Saya seringkali memperhatikan penyelenggaraan kompetisi business plan di antara pelajar dan mahasiswa Indonesia yang mengangkat tema agribisnis maupun agrikultur, ide-ide yang muncul dari aktivitas para calon pebisnis muda ini mengandung potensi besar jika saja dapat didukung dengan baik realisasinya.

Poin terakhir adalah dengan memfasilitasi infrastruktur yang dapat mewujudkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat. Poin ini sangat penting untuk diperhitungkan karena dengan membantu pemerataan distribusi pangan saja tidaklah cukup, perlu perbaikan dari akarnya. Misalnya, dengan menciptakan lapangan pekerjaan yang dapat menjamin pendapatan stabil masyarakat, sehingga mereka punya keleluasan akses terhadap kebutuhan pangan yang sehat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun