Mohon tunggu...
Mohamad Sholihan
Mohamad Sholihan Mohon Tunggu... wartawan -

Marbot Masjid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Haram yang Menerima dan Memberi Hutang

17 November 2015   15:46 Diperbarui: 17 November 2015   15:48 7192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Definisi hutang adalah memberikan pemilikan sesuatu kepada orang lain, baik berupa uang maupun barang, agar dikembalikan lagi di kemudian hari tanpa adanya tambahan. Artinya sesuai dengan yang dihutangkan. Dalam Islam, orang yang memiliki kelebihan uang, sangat diajurkan untuk memberikan hutang kepada orang yang membutuhkan.

Hukum awalnya sunnah (berpahala) memberikan hutang. Begitu pula orang yang menerima hutang (pinjaman) hukum awalnya mubah (boleh). Tapi hukum hutang ini bisa berubah lantaran suatu sebab. Pertama, bisa berubah menjadi haram bagi orang yang berhutang tidak niat bayar. Menjadi haram lagi kalau tujuannya untuk membeli barang yang haram, misalnya untuk membeli minuman keras, mabuk-mabukan, main judi, kencan dengan istri/suami orang, dan keperluan maksiat lainnya. Yang memberikan hutang juga haram kalau tahu akan digunakan untuk perbuatan maksiat.

Kedua, hukumnya makruh, yaitu bagi orang yang berhutang tidak untuk kemaslahatan dan tidak untuk perbuatan maksiat. Hutang saja, tidak ada keperluan apa-apa. Ketiga, ada orang yang berhutang hukumnya wajib ketika seseorang menanggung keluarga. Kalau tidak hutang, keluarganya tidak makan pada hari itu. Karena wajib menafkahi istri dan anak-anak, maka hukum berhutang pun jadi wajib.

Memberikan hutang sangat baik berdasarkan firman Allah, “Barang siapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak.” (Q.S. Al-Baqarah, 245). Memberikan pinjaman yang baik menurut K.H. Muhammad Sirojudin, MA di Masjid Daaruttaqwa, Wisma Antara, Jakarta, ikhlas. Tidak mengharapkan tambahan kelebihan. Kalau yang berhutang tidak mampu membayar, diberikan tempo lagi. Kalau masih tetap tidak sanggup melunasinya, maka disedekahkan lebih baik dan utama.

Ada seorang baduwi Arab datang kepada Nabi Muhammad, menagih hutang. (Hutangnya bukan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk umat). menagihnya sambil mengancam, kalau tidak segera bayar, awas kamu. Shahabat Nabi menegurnya,

“Kamu berbicara yang sopan, kamu berbicara dengan siapa?”

“Aku hanya menuntut hakku, kenapa kamu yang marah-marah!” jawabnya.

“Kamu harus membela yang punya hak, jangan membela saya,” sergah Nabi.

Akhirnya Nabi melunasi hutangnya dengan pinjam lagi dari shahabatnya. Setelah dilunasi, Baduwi Arab itu diberi makan oleh Nabi dan didoakan, “Hutang sudah aku lunasi, semoga Allah memberikan anugrah yang bermanfaat dari Allah.”

Dalam kesempatan lain, Nabi bersabda, “Tidak ada seorang Muslim yang menghutangi saudaranya sesama Muslim dua kali menghutangi, kecuali dia seperti bersedekah satu kali.” Jadi menurutnya, kalau memberikan hutang dua kali, yang satu kali nilainya sedekah.

Hadis lain menyebutkan, “Siapa saja yang mengambil harta orang lain dengan cara berhutang, dan dia niat melunasinya, pasti Allah akan membayarkannya.” (H.R. Bukhori). Kata-kata membayarkannya menurut Sirojudin, ada dua makna. Pertama, Allah akan memberikan kemudahan baginya untuk bisa melunasi hutangnya di dunia. Kedua, dia sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi ternyata tidak sanggup melunasi hutangnya. Sampai dia mati, ahli warisnya pun tidak bisa melunasinya, maka Allah nanti di akhirat yang akan melunasi hutangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun