Mohon tunggu...
Shofiynanda QurrotaAini
Shofiynanda QurrotaAini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa prodi HI

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Intoleransi dan Radikalisme Agama Penyebab Lahirnya "Terorisme"

4 Juli 2021   18:08 Diperbarui: 4 Juli 2021   18:16 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di Indonesia topik kajian mengenai agama memang sedikit sensitif. Pasalnya agama adalah salah satu hal paling kompleks yang pernah muncul di dalam peradaban manusia. Kata " agama" memiliki arti yang kompleks dan beragam. Agama memang tampak mampu berdiri sendiri. Namun, di dalam kenyataan, agama memang tak bisa dilepaskan dari keadaan yang lebih luas, yakni keadaan politik, ekonomi, budaya, dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. Di dalam kenyataan, agama tidak bisa berdiri sendiri, dan tidak bisa dipahami sebagai sesuatu yang netral di dalam kehidupan manusia. Di kebudayaan yang berbeda, agama pun kerap kali memiliki arti yang berbeda, meskipun tetap memiliki ciri dasar yang sama. Pemahaman ini sangat penting di dalam beragama di abad ke-21, supaya orang terhindar dari kesempitan berpikir dan intoleransi yang menjadi yang menjadi ciri dasar gerakan radikalisme agama yang banyak berkembang dewasa ini, termasuk di Indonesia. Di abad ke-21 yang semakin kompleks ini pemahaman yang mendalam tentang agama jelas amat diperlukan. Melihat Indonesia memiliki beragam agama dan keyakinan yang mana jika sedikit saja ada kesalahanpahaman dapat menyinggung dan menimbulkan permasalahan terhadap agama-agama yang lainnya.

Indonesia sudah kenyang dengan pengalaman terkait dengan konflik akibat intoleransi agama. Memang, konflik tersebut tidak murni terkait agama, namun selalu menyembunyikan kepentingan politik tertentu di belakangnya. Hal ini tentunya mengancam kesatuan dan persatuan bangsa yang memag berpijak pada keberagaman dan Pancasila di Indonesia. Salah satu organisasi yang terus memantau kerukunan hidup beragama di Indonesia adalah Setara Institute.

Sebagai organisasi, mereka terus menegaskan bahwa di akar rumput toleransi dan perdamaian antar agama adalah kenyataan sehari-hari. Konflik yang terjadi selalu merupakan permainan politik yang melibatkan kelompok radikal dan teroris tertentu ataupun sebab-sebab khusus lainnya. Saat ini fenomena radikalisme agama bahkan tumbuh subur di dunia pendidikan. Tidak hanya di dunia pendidikan saja, bahkan saat ini lingkungan keluarga pun bisa menyebarkan doktrin paham radikal dan hal tersebut sangat berbahaya bagi pluralisme di Indonesia. Maka dari itu pentingnya untuk memupuk pemahaman terhadap agama yang mendalam sedari dini agar terhindar dari radikalisme agama.

Mark Juergensmeyer dalam bukunya Terror in the Mind of God telah mendokumentasikan dan membahas cukup detail berbagai kasus terorisme di berbagai negara yang para pelakunya berafiliasi dengan agama atau sekte agama tertentu seperti Islam, Hinduisme, Buddhisme, Kristen, Sinto dan sebagainya. Begitu pula buku The Cambridge Companion to Religion and Terrorism yang dieditori oleh James Lewis juga mendokumentasikan dan menganalisis keterkaitan antara terorisme dan agama, baik dalam pengertian norma, ajaran, doktrin, teks, nilai, wacana, atau institusi keagamaan.

Penyebab utama kejahatan terorisme adalah intoleransi dan radikalisme agama. Hal ini terjadi di beberapa negara, termasuk di Indonesia. Meskipun barang kali ada korelasi antara terorisme dan agama, tindakan terorisme dalam sejarah kemanusiaan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, bukan hanya dilakukan oleh kelompok (atau individu) agama tetapi juga oleh kelompok sekuler. Motivasi tindakan terorisme juga beraneka ragam, tidak melulu didorong oleh faktor keagamaan. Begitu pula tujuan aksi-aksi terorisme sangat bervariasi, tidak tunggal. Sasaran aksi teror juga beragam, bukan hanya tempat ibadah tetapi juga gedung atau bangunan "sekuler" seperti hotel, bank, kantor, mall, kafe dan sebagainya.

Contoh kasus yang pertama yaitu dialami oleh umat Hindu di Lumajang, yang harus merelakan puranya dirusak oleh sekumpulan orang. Mereka merusak tiga arca pada Februari 2019 Kasus ini langsung menjadi perhatian utama dari penegak hukum setemnat supaya tidak meresahkan masyarakat lebih jauh. Tidak hanya umat Hindu seorang Kiai di Lamongan juga menjadi korban penyerangan seseorang yang berlagak gila. Kasus ini sempat memicu kericuhan. Namun, penegak hukum setempat berhasil sigap mengamankan keadaan. Sebuah Masiid di Tubah juga diserang oleh sekelompok orang pada bulan Februari 2018 Dugaan utama adalah bahwa pelaku serangan merupakan penganut aliran radikal yang bersifat intoleran terhadap perbedaan. Walaupun mayoritas. umat Islam di Indonesia sebenarnya cukup sering menjadi korban dari konflik berbau agama.

Lalu ada kasus juga kasus yang dialami oleh umat Buddha dan Kong Hu Cu di Indonesia beberapa mengalami peristiwa kekerasan. Pada 11 Februari 2018 lalu, terjadi ancaman ledakan bom di Kelenteng Kwan Tee Koen, Jawa Barat. Tersangka bernama Daeng atau Dawer Bin Adang Rahmat. la mengirimkan Alquran kecil kepada pengurus kelenteng beserta surat ancaman peledakan bom dan pemerasan uang. Ia juga memberikan buku berjudul Aku Cinta Islam kepada pengurus kelenteng. Daeng akhirnya ditangkap polisi beserta sejumlah barang bukti. Umat Katolik di Sleman juga mengalami teror yang mengejutkan. Seorang pemudah bersenjata pedang menyerang jemaat yang sedang beribadah. Ada tiga orang, termasuk pemuka agama, yang mengalami luka berat. Pelaku segera ditangkap. la diduga adalah bagian dari kelompok Islam radikal.

Melihat beberapa kasus di atas, saya berasumsi bahwa dalam hal ini BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) selama ini belum terlihat maksimal peranannya dalam menuntaskan kasus-kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama yang ditunjukkan dengan aksi teror. Meskipun BNPT sudah merilis program unggulannya yakni program sinergi antarkementerian dan lembaga, namun kasus kekerasan yang berujung teror atas nama agama masih terjadi. Saya beranggapan bahwa Negara belum mampu menuntaskan permasalahan kekerasan sehingga jaminan keamanan bagi kelompok minoritas dalam persoalan kemerdekaan dalam menjalankan aktivitasnya sering dikalahkan dengan keinginan dari kelompok mayoritas. Negara perlu membangun komunikasi yang baik terhadap semua kelompok dan golongan yang berbeda. Sebagai warga negara dan umat beragama yang hidup di lingkungan multiagama seperti Indonesia seharusnya dapat membangun atmosfir komunikasi yang konstruktif.

Referensi:

Wattimena, Reza A.A, Anak Agung Banyu Perwita. 2019. Memahami Hubungan Internasional Kontemporer. Jakarta, Salemba Humanika.

Supriadi, Endang, Ghufron Ajib, dan Sugiarso Sugiarso. Intoleransi dan Radikalisme Agama: Konstruk LSM tentang Program Deradikalisasi. JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo), 4(1), 53-72.

Qurtuby, al Sumanto. 2021. Adakah Korelasi antara Terorisme dan Agama?.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun