Mohon tunggu...
Shita Istiyanti
Shita Istiyanti Mohon Tunggu... Penulis Opini, desainer grafis

Saya suka menulis opini soal permasalahan umat Islam saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Frugal Living Untuk Protes Kenaikan Pajak, Akankah Menjadi Solusi?

10 Desember 2024   07:47 Diperbarui: 10 Desember 2024   07:47 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG


Kabinet baru amanah baru, harusnya. Namun dengan dilantiknya pemimpin baru bangsa ini, rakyat sudah disuguhi kado awal tahun yang cukup menghebohkan. Ya, kenaikan PPN sebesar 12% akan disahkan 1 Januari 2025 nanti. Kenaikan ini diatur dalam  UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Nomor 7 Tahun 2021 (kompas.com 19/11).

Kenaikan PPN ini jelas akan sangat memberatkan rakyat, karena hal ini akan berdampak kepada naiknya harga barang dan jasa. Namun dilain sisi gaji mereka terap sama. Alhasil rakyat akan semakin sengsara. Di jagad maya kita juga menyaksikan berbagai kontra yang dituangkan masyarakat dalam cuitan mereka. Aksi protespun tak terelakkan dimana-mana. Namun nampaknya rakyat mulai lelah turun ke jalan karena tak akan digubris, akhirnya mereka menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk melakukan "frugal living".

Frugal living sendiri adalah hidup super hemat dan hanya membatasi berbelanja kebutuhan pokok saja. Itu pun dilakukan kepada pedagang-pedagang yang memproduksi sendiri dagangannya alias para UMKM, sangat mengurangi berbelanja kepada industri besar. Menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, aksi ini akan sangat merugikan pada pemerintah. Karena rakyat akan memilih barang yang jauh lebih murah, hal ini bisa menjadi celah bagi barang-barang ilegal yang tidak dikenai pajak untuk beredar luas. Alhasil pemasukan pajak negara akan jauh berkurang.

Rakyat berharap dengan protes ini pemerintah tidak jadi menaikkan PPN pada awal Januari nanti. Namun apakah aksi ini akan berhasil? Konon katanya Demokrasi itu mengikuti suara mayoritas rakyat, namun jika faktanya rakyat menolak kenaikan pajak akankah kebijakan ini akan batal?

Faktanya suara rakyat hanya berhenti di bilik suara. Selebihnya suara mayoritas hanya angan belaka. Sudah bukan rahasia umum lagi di sistem demokrasi yang konon menjunjung tinggi kepentingan rakyat, nyatanya hanya berpihak pada oligarki. Sebut saja revisi UU Pilkada kemaren yang hanya beberapa jam di ACC oleh DPR. Sedangkan RUU Perampasan Aset yang sudah bertahun-tahun dirapatkan hingga 6 kali rapat, surpres tak kunjung diproses, terkatung-katung menggantung tak ada ujung.

Pun dengan aturan-aturan mengenai pajak. Ketika APBN terus defisit solusinya naikkan PPN, ketika golongan menengan dan bawah sulit punya rumah, Tapera jadi solusi. Ketika  rumah dinas DPR sudah tak layak, beri DPR tunjangan rumah 50jt/bulan dari uang rakyat. Masalah macet, tarif KRL berdasar NIK dan beri subsidi kendaraan listrik dari uang rakyat lagi. Rakyat diperas habis-habisan, ditarik pajak dari segala lini dari gaji yang tak pasti.

Disisi lain pejabat para antek oligarki hanya ongkang-ongkang kaki, menikmati fasilitas dari keringat rakyat yang diperas. Uang rakyat dikorupsi sana-sini oleh para tikus berdasi. Sedangkan hukuman bagi tikus-tikus ini tak memberi jera yang berarti. Hukum sangat tumpul jika menyinggung para oligarki ini. Sebagai contoh, disaat pemerintah akan menaikkan tarif PPN menjadi 12%, diwaktu yang sama UU Pengampunan Pajak atau Text Amnesty masuk kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)  prioritas pada tahun 2025 nanti. Artinya pemerintah untuk yang ke-3 kalinya akan melakukan program pengampunan pajak bagi para pengemplang pajak. Lihatlah bagaimana rakyat kecil diperas habis-habisan, sedangkan para tikus berdasi selalu lolos dengan mudah berkedok legislasi. Begitulah realistas sistem demokrasi, hipokrisi!

Demokrasi adalah sistem kehidupan yang sudah cacat sejak lahir. Cacat dari dasarnya. Siapapun pemimpin yang memimpin dalam sistem demokrasi ini bisa dipastikan dia akan terikut arus kebejatannya. Bahkan malaikat saja akan menjadi iblis jika masuk kedalam sistem ini (Prof. Mahfud MD). Sudah selayaknya sistem bobrok ini kita tinggalkan dan menggantinya dengan sistem yang baru.

Ditengah carut marut ini Islam hadir bak angin sejuk di musim panas. Islam memiliki seperangkat aturan yang sempurna dan paripurna untuk mengatur masyarakat. Dalam Islam memungut pajak kepada rakyat hukumnya  haram. Nabi saw. bersabda, "Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diazab) di neraka." (HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930). Islam memberikan ancaman keras bagi bangsa yang mengandalkan pajak sebagai sumper pendapatan negara, karena ini adalah cara yang batil. Disisi lain Islam memiliki mekanisme ekonomi yang meniscayakan harta akan terdistribusi dengan baik. Misal aturan tentang kepemilikan. Dalam Islam ada 3 jenis kepemilikan. Pertama kepemilikan umum (tambang, sumber energi, jalan, hutan dll) yang hasil pengelolaannya wajib digunakan untuk kepentingan rakyat secara umum. Semisal layanan pendidikan, kesehatan, jalan tol dll. Maka tak heran jika sejarang mencatat ketika Islam diterapkan dalam sebuah negara, negara bisa menjamin kebutuhan primer rakyat termasuk pendidikan dan kesehatan secara cuma-cuma alias gratis. Ke-2 adalah kepemilikan negara (kharaj, jiziah, fai dll). Ke-3 yakni kepemilikan individu.

Dengan konsep kepemilikan ini maka harta tidak akan berhenti pada si kaya saja. Seperti halnya yang terjadi pada sistem kapitalisme, dimana kepemilikan umum diprivatisasi asing sedangkan rakyat dipalak pajak. Maka sudah saatnya kita tinggalkan sistem bobrok ini dan kembali kepada aturan pencipta manusia. Wallahualambissawab.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun