Bayangan wajahnya kerap mengelilingi isi kepala, senyumnya terpampang pada dinding ingatan, dan namanya tak pernah berhenti diucapkan oleh suara hati. Ya, itulah dirimu.
Berkali-kali aku mencoba menghadang bayangmu untuk tidak lagi hadir, tetapi berkali-kali juga aku gagal. Berkali-kali pula aku memaki diriku sendiri karena tidak sanggup menghalau senyummu yang selalu terbayang dalam ingatan.
Kehadiranmu bagai sebuah kesejukan yang selalu aku nantikan, akan tetapi kepergianmu adalah luka yang tidak pernah aku inginkan. Jika dingin adalah rindu, maka aku tidak akan pernah menginginkan hangat. Dirimu tidak pernah tahu kalau aku merindukanmu. Dan itulah yang sekarang aku rasakan, itu menyiksa.
Aku tahu, dirimu tidak pernah mencoba masuk ke dalam ruang jiwaku, tapi bodohnya aku yang membiarkanmu masuk sampai meninggalkan jejak di sana. Dan kini aku sendiri yang terperangkap dalam sangkar yang kubuat sendiri.
Sebenarnya  apa yang diriku alami ini bukanlah sesuatu yang baru. Aku tidak pernah tahu apakah dirimu juga merindukanku. Setiap kita bisa saja dirindukan seseorang. Seseorang bisa saja diam-diam menyembunyikan rindu yang tidak pernah mau ia ungkapkan. Aku harap kamu begitu.
Aku tidak menginginkan rasa yang tak terbalas, berharap yang kudekap adalah wujud nyata. Akan tetapi semua berbanding terbalik, yang kudapati hanya sekedar bayangmu, yang kudapati hanyalah sebuah ilusi belaka. Aku hanya merindukan orang yang sama sekali tidak merindukanku.
Terkadang kita terlalu asyik menikmati kesendirian, maka dari itu ketika perasaan-perasaan itu muncul, kita  kebingungan. Ingin mengungkapkan, tetapi takut hati patah. Ingin memendam, tetapi yang kita raih hanya bayang.
Aku mengerti tidak semuanya harus terbalas, yang perlu diluaskan adalah bagaimana kita belajar untuk tahu diri, tahu batas, dan sebisa mungkin untuk mengikhlaskan.