Mohon tunggu...
Find iiguwana
Find iiguwana Mohon Tunggu... Freelancer - .

food, book, movies, music

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dunia Maya, Pornografi dan Kekerasan Seksual

20 Juni 2021   01:46 Diperbarui: 20 Juni 2021   02:28 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Internet sudah menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Mulai dari orangtua, dewasa, remaja bahkan anak-anak membutuhkan internet untuk mendukung aktivitas keseharian mereka. Begitu pula dengan penggunaan media sosial, dikatakan dalam laporan berjudul Digital 2021: The Latest Insight Into The State of Digital bahwa dari total 274,9 juta penduduk 170 juta diantaranya sudah menggunakan media sosial. Orang-orang yang mulai melek internet ini seperti masuk ke dalam dunia baru dan terlena dengan kemudahan dan kenyamanan yang diberikan sehingga kurang waspada akan bahaya yang terjadi dalam dunia maya.

Berbagai kejahatan yang terjadi di dunia nyata tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut juga dapat terjadi di dunia maya. Kasus pornografi dan kekerasan seksual di dunia maya belakangan ini menghiasi pemberitaan. Menurut UU no 44 tahun 2008 tentang pornografi, disebutkan dalam Pasal 1 bahwa “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.

Namun, seperti yang sudah diketahui konten yang disebut pornografi ini banyak beredar luas di internet dan dapat ditemui oleh siapapun. Bahkan setiap dari kita pasti pernah mendapati iklan pop-up yang memunculkan gambar tidak senonoh saat membuka suatu portal di laman internet. Tidak hanya itu, gambar atau video berbau pornografi juga banyak ditemui di situs-situs game online atau lainnya. Yang mana, artinya konten seperti ini dapat muncul di mana saja tanpa ada sebuah peringatan. Jika, yang mendapati hal tersebut adalah orang yang sudah dewasa, kecil mungkin menjadi masalah karena mereka sudah bisa memutuskan mana yang baik dan tidak bagi dirinya. Tetapi jika yang mendapati hal tersebut adalah anak-anak, apa yang mungkin akan terjadi? Bisa saja, anak mulai menganggap bahwa itu adalah hal yang biasa dan akhirnya mewajarkan, bahkan tidak menutup kemungkinan anak-anak akan meniru apa yang dilihatnya. Karena tentu saja anak itu tidak tahu dan tidak adanya pendampingan atau pengawasan dari orang dewasa ketika anak-anak bermain internet. Itulah pentingnya, kenapa anak-anak harus tetap diawasi dalam menggunakan internet karena rawan terkontaminasi oleh pengaruh buruk cyber porn yang belum tentu resikonya dapat kita hadapi suatu saat nanti.  

Salah satu kasus pornografi yang ramai diperbincangkan beberapa saat lalu adalah mengenai kasus video syur artis kenamaan Indonesia yang beredar di media sosial. Pelaku penyebaran video inipun telah ditangkap dan dijatuhi hukuman pidana, terdakwa dituntut karena melanggar Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (1) undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meski pelaku penyebaran sudah ditangkap komentar masyarakat mengenai kejadian pada artis tersebut belum juga reda. Apapun bentuknya, memang pornografi tetap tidak bisa dibenarkan dan harus diberantas. Melalui kejadian ini juga kita bisa melihat bahwa yang terus disalahkan oleh masyarakat adalah si perempuan, mungkin memang karena si perempuan adalah public figure yang dikenal masyarakat luas dan tidak menduga dengan apa yang dilakukannya. Tapi, jika kita menilik kasus serupa di media sosial, perempuan selalu menjadi yang paling menderita dan menjadi pihak yang disalahkan atas apa yang terjadi, media juga kerap kali menjadikan perempuan sebagai objek pornografi.

Begitupun saat kita melihat kasus kekerasan seksual yang terjadi di media sosial. Kasus kekerasan seksual seperti ini bahkan terus meningkat dengan berbagai macam bentuk aksi. Mulai dari cyber stalking (penguntitan dunia maya), cyber harassment (penindasan dunia maya), sexting (berkirim pesan dengan unsur seksual), cyber grooming (modus pelecehan yang dilakukan orang dewasa pada anak), morphing (mengedit foto menjadi bernuansa seksual), malicious distribution (ancaman penyebaran foto/video pribadi), revenge porn (menyebarkan foto/video sebagai bentuk balas dendam). Penyanyi dangdut Via Vallen pernah membagikan pengalaman tidak menyenangkan yang dia alami di media sosial intagram. Membagikan kisahnya melalui Instagram story bahwa dia mendapatkan pesan yang tidak pantas dan berbau seksual dari seseorang, kejadian yang di alami Via Vallen ini bisa disebut dengan cyber harassment. Di media sosial Twitter juga sempat ramai oleh kasus berupa Revenge Porn, kebanyakan hal ini terjadi pada seseorang yang awalnya berhubungan dekat seperti mantan kekasih, lalu saat berpisah salah satu merasa tidak terima kemudian balas dendam dengan menyebarkan foto/video pribadi ke internet. Dan selalu yang menjadi korban adalah perempuan dan yang disalahkan tetap saja si perempuan. Satu per satu korban kekerasan mulai angkat bicara di media sosial. Kenapa baru sekarang? Mungkin saja dulu ada banyak sekali korban yang mengalami kejadian serupa tapi tidak berani berbicara. Karena jika kejadian tersebut menyebar akan dianggap mempermalukan keluarga dan mendapat penghakiman dari lingkungan sekitar, korban yang disalahkanpun akhirnya terjebak dan menderita sendirian. Contoh kecil, saat ada kasus pemerkosaan korban yang mana perempuan disalahkan atas apa yang terjadi dengan mengatakan bahwa pakaian yang dia kenakanlah yang menyebabkan dia mengalami kejadian buruk itu. Padahal jika mau melihat dengan leluasa banyak korban pemerkosaan yang bahkan saat hal tersebut terjadi sedang memakai pakaian yang sangat sopan bahkan tertutup. Jadi menjadikan alasan penampilan adalah hal yang konyol. Begitu juga yang terjadi di media sosial, korban yang mengalami trauma dan serangan mental malah semakin disalahkan bukannya dibantu, dianggap tidak berkelakuan baiklah, perempuan tidak benar dan lain-lain. Lalu bagaimana dengan pelaku? Bukankah yang dilakukan pelaku sudah jelas bukan hal yang baik dan benar? Masyarkat melupakan fakta tersebut dan hanya menghakimi korban. Melihat saat ini banyak korban kekerasan seksual yang bersuara, mungkin karena para korban mulai percaya dengan society kita saat ini bahwa mereka sudah melek akan kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan dan hal tersebut tidak bisa hanya didiamkan begitu saja. Korban mulai percaya bahwa dukungan dan pertolongan itu ada untuknya. Meskipun tidak dapat dihindari jika masih ada orang yang menganggap korban tetap harus salah dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal tentu saja. Tapi mengapa korban malah membagikan kisahnya di media sosial bukanya melapor pada pihak berwajib? Apa yang dialami korban tentu tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri melainkan orang terdekat dan keluarga, tentu itu akan dianggap sebagai aib keluarga dan akan dipojokkan. Selain itu, juga karena penanganan dari pihak berwajib yang lambat merespon kejadian seperti ini karena tidak dianggap serius dan korban hanya digantung dengan harapan yang tak pasti sambil menunggu mendapatkan keadilan. Tidak sedikit pula yang akhirnya kejadian seperti ini berakhir dengan kekeluargaan. Sungguh meresahkan. Keputusan speak up melalui media sosial merupakan keputusan yang sangat berani, selain korban mencari keadilan untuk dirinya sendiri kejadian tersebut juga dapat menjadi pelajaran bagi orang lain. Dan karena kebanyakan kasus di media sosial ini ter-blow up, korban akhirnya banyak mendapat bantuan baik dari sisi hukum dan juga psikologis. Banyak korban yang akhirnya mendapat pendampingan dan masyarakat juga menjadi tahu lembaga bantuan hukum mana yang terbuka untuk dimintai bantuan saat kejadian tersebut menimpa.

Pemerintah sendiri sudah memilki acuan yang jelas mengenai pornografi yang diatur dalam UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi sebagai payung hukum di Indonesia. Namun, diperlukan perlindungan hukum yang memadai bagi korban kekerasan seksual. Rancangan Undang-Undnag tentang Penghapusan Kekerasan Seksual atau sering disebut RUU PKS dianggap lebih memadai dan membuka akses luas terhadap korban kekerasan seksual dan perempuan lain agar terhindar dari kekerasan seksual. Sayangnya, DPR menunda kelanjutan dari RUU PKS ini dan belum diketahui sampai kapan. Pelaku kekerasan seksual harus dihukum seadil-adilnya bukan dibiarkan berkeliaran begitu saja dan korban harus mendapat perlindungan yang semestinya dan dukungan dari negara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun