Mohon tunggu...
Shinta Harini
Shinta Harini Mohon Tunggu... Penulis - From outside looking in

Pengajar dan penulis materi pengajaran Bahasa Inggris di LIA. A published author under a pseudonym.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PTMT bagi Lembaga Pendidikan Non-formal Swasta: Sebuah Dilema

18 Desember 2021   11:01 Diperbarui: 18 Desember 2021   11:18 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PTMT (Sumber: fokussatu.id)

Masa pandemi akibat Covid-19 sejak tahun 2020 cukup memukul banyak pelaku ekonomi, termasuk lembaga pendidikan. Untuk lembaga pendidikan formal, hal itu mungkin tidak terlalu dirasa karena murid akan tetap datang mendaftar di sekolah-sekolah negeri, bahkan mereka berlomba-lomba untuk itu. Demikian halnya dengan lembaga pendidikan formal swasta. Walau tidak sebanyak yang masuk sekolah negeri, saya yakin tetap banyak yang pergi ke sekolah swasta.

Keadaan ini sangat berbeda dengan lembaga pendidikan non-formal yang berbentuk kursus-kursus. Pada dasarnya pendidikan yang diadakan oleh lembaga kursus adalah pengetahuan tambahan yang kemungkinan hanyalah merupakan hal ekstra bagi calon-calon peserta. Itu adalah salah satu penyebab menurunnya jumlah murid di lembaga-lembaga kursus.

Di masa pandemi di mana banyak orang kehilangan pekerjaan atau terdampaknya usaha mereka, sangat dapat dimengerti jika orang sangat hati-hati dalam membelanjakan uang mereka. Jangankan untuk mengikuti kursus, untuk makan saja kadang harus menahan keinginan membeli makanan yang dulunya biasa dinikmati.

Saat ini lembaga-lembaga kursus mengerahkan segala usaha dan strategi untuk menarik perhatian calin peserta untuk akhirnya memutuskan untuk mendaftar. Teknik-teknik pengajaran online dipelajari ulang oleh guru-guru untuk dipraktekkan di kelas, aplikasi baru untuk gawai diunduh, dan webinar pengajaran menjamur di mana-mana.

Ironisnya, satu hal yang suatu lembaga kursus pelajari adalah ketika mencari tahu dari klien dalam sebuah survei. Salah satu alasan yang diberikan orang tua murid mengapa mereka tidak mendaftarkan anak mereka adalah karena pengajaran dilakukan secara online. Kata mereka, "Nanti kalau sudah tatap muka kita akan daftar bu."

Di sini mungkin keputusan dimulainya PTMT (Pembelajaran Tatap Muka Terbatas) terasa seperti angin segar bagi kelanjutan lembaga-lembaga kursus. Langkah-langkah mulai dilakukan untuk memulai PTMT seperti mengadakan survei, mencari bentuk terbaik PTMT, dan diseminasi program. Kami mengharapkan tentu ini akan menjadi langkah awal kembalinya kelas-kelas tatap muka seperti yang dulu lagi. Namun semua itu tidak mudah.

Begitu banyak hal-hal yang membatasi pelaksanaan PTMT di lapangan. Karena pandemi masih belum berakhir, maka jumlah murid juga harus dibatasi paling banyak setengah dari jumlah total. Sesi tatap muka juga tidak bisa terlalu banyak karena pelaksanaan di lapangan harus mengikuti prokes yang ketat. Kalau biasanya sesudah satu kelas berakhir setelah dua jam, kelas selanjutnya dapat langsung dimulai menempati ruangan yang sama, kali ini tidak demikian. Sesudah kelas selesai maka ruangan harus disemprot dengan desinfektan dan dibersihkan dengan seksama. Jeda waktu ideal antara kelas pertama dan kedua adalah dua jam. Otomatis slot waktu yang ada dalam satu hari tidak bisa banyak diisi.

Hal selanjutnya adalah masalah teknologi. Saat pembelajaran tatap muka dengan setengah jumlah siswa suatu kelas, tentu yang setengahnya juga tetap harus belajar, bukan? Di sini berarti murid-murid tersebut mengikuti pelajaran secara online. Harus dipikirkan alat apa yang akan digunakan, seperti laptop, telpon selular, mikrofon, dan mungkin masih ada lagi yang diperlukan. Banyak yang menjadi pertimbangan karena kamera yang ada harus bisa menangkap kegiatan kegiatan yang dilakukan di kelas atau mikrofon yang mampu menangkap kata-kata dengan jelas. Menggunakan mikrofon yang ada di laptop mungkin tidak cukup. Nah, investasi yang perlu dilakukan di sini juga tidak sedikit.

Faktor murid juga harus diperhatikan. Sebagai pihak lembaga mungkin kita sudah berulang-ulang menerangkan prosedur kesehatan yang harus ditaati. Tetapi namanya juga anak-anak. Pasti ada saat-saat mereka lupa dan jarak yang ada pun menghilang. Hal itu terbukti dari banyak terbentuknya kluster-kluster baru di sekolah setelah dilaksanakannya PTMT. Hal yang membuat orang kembali menjadi was-was untuk mengikut-sertakan anak atau keluarganya pada pembelajaran tatap muka.

Jadi, kalau sebelumnya orang hanya mau mengikuti kursus kalau diadakan face-to-face, mereka kembali ragu-ragu setelah melihat apa yang terjadi. Demikian juga dengan lembaga kursusnya. Yang semula serasa angin segar, PTMT ternyata berubah menjadi seperti angin kencang yang mungkin mendinginkan suhu tetapi juga membuat kita jadi greges-greges nggak jelas. Pusing dan sakit kepala karena masalah-masalah yang membuntutinya. Akhirnya PTMT bukannya mendatangkan murid kembali berbondong-bondong ikut kursus, tetapi malah menjauhinya. Yah, mudah-mudahan tidak demikian. *knocks on wood*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun