Sam mengentak ujung sepatu, melepas sisa becek yang menempel di alasnya. Dia kemudian mengembus nafas panjang, mencoba membangun kepercayaan dirinya melalui karbon dioksida yang dikeluarkan. Agak tidak yakin akan bisa bersikap baik dengan seseorang yang hendak dia temui sebentar lagi. Isi kepalanya kadang-kadang masih menayangkan saat di mana perempuan bermata sipit yang sering sekali memamerkan lesung pipitnya, pergi empat tahun silam. Sebuah kehilangan yang membuat Sam jarang bersikap ramah pada lawan jenis.
Menembus rinai hujan, menghadiri makan malam yang tidak jelas---kencan buta menurut Kak Nir---dengan perempuan yang belum pernah dia temui bukanlah gaya Sam. Tapi Kak Nir memaksanya dengan kalimat promosi yang lebih menarik dari iklan rokok.
"Dokter gigi, sudah punya klinik sendiri, pintar masak, dan soal wajah, kamu enggak usah khawatir, dijamin cantik! Alami pokonya, tanpa polesan dempul, apalagi operasi plastik." Â Kak Nir mengeluarkan ponselnya, lantas menempatkan di depan wajah Sam, "Nih, benaran cantik, kan?"
Sam melihat sekilas dan kemudian kembali memandangi layar komputernya. Dia terlalu malas meski hanya sekadar melirik wajah dalam ponsel Kak Nir itu. Dalam hati dia sebenarnya tidak peduli dengan kriteria yang Kak Nir bilang. Sebab jauh di ceruknya, masih tersimpan nama dari masa lalu yang pernah meninggalkan bekas luka dan rasa bersalah yang hingga kini belum sepenuhnya sembuh.
Memasuki ruangan, mata Sam refleks menyoroti bagian dalam rumah makan berarsitektur klasik itu, mencari meja nomor tiga di antara remangnya pencahayaan.
Ketemu. Seorang perempuan bermata bulat, duduk di belakang meja dengan tumpukan air mineral kemasan gelas dan sebuah kotak tisu. Dia mengenakan tunik warna nude dengan makeuptipis, duduk sendirian sambil sesekali melirik jam tangan.
Sam yakin perempuan itulah yang Kak Nir maksud.
Lelaki itu kemudian mendekat lantas menyapa, "Hai," dengan agak kaku. Lalu, tanpa menunggu balasan dari perempuan di depannya dia melanjutkan, "menunggu seseorang?"
Perempuan itu tersenyum lalu mengangguk, mengulurkan tangan lantas berkata, "Saya Lisa."
Sam mengernyitkan kening, lantas menyimpulkan: oh, mungkin perempuan itu memakai nama belakang untuk mengenalkan diri. Maka Sam juga memutuskan untuk menggunakan nama belakangnya pada sesi perkenalan kali ini, "Arman."
Perempuan itu menautkan alis, kemudian tersenyum dan memberi isyarat mengerti.