Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Merapi, jauh dari keramaian kota, hiduplah seorang perempuan tua bernama Simbah Parji. Desa yang dikelilingi oleh hamparan sawah hijau dan udara sejuk ini menjadi saksi perjuangan hidup Simbah Parji selama puluhan tahun. Meski usianya sudah menginjak 68 tahun, ia masih setia menggarap sawah warisan orang tuanya, bekerja dari pagi hingga sore dengan semangat yang tak kalah dari petani muda. Â
Bagi warga sekitar, Simbah Parji bukan sekadar petani biasa. Ia adalah sosok yang dihormati karena ketangguhannya dan dedikasinya pada tanah kelahiran. Ketika banyak petani lain memilih menjual lahannya atau beralih profesi, Simbah Parji tetap bertahan, merawat setiap jengkal tanah dengan penuh cinta. "Tanah ini sudah menghidupi keluarga kami turun-temurun. Aku tidak akan meninggalkannya," ujarnya sambil menatap jauh ke hamparan sawahnya. Â
Kesetiaan Simbah Parji pada tanah warisan leluhur bukan hanya tentang bertahan hidup, melainkan juga tentang menjaga warisan budaya dan kearifan lokal. Ia sering bercerita pada anak-anak muda di desanya tentang pentingnya menghargai alam dan tidak melupakan asal-usul. Bagi Simbah Parji, sawah bukan sekadar sumber pangan, tapi juga identitas yang harus dilestarikan. Sikapnya ini membuatnya menjadi simbol keteguhan hati dan cinta pada tanah air dalam arti yang sesungguhnya.
Sejak subuh, ketika kabut masih menyelimuti persawahan dan embun pagi mengkilat di atas daun padi, Simbah Parji sudah bersiap dengan cangkul kayunya yang telah usang dan caping anyaman yang setia menemaninya puluhan tahun. Suara ayam jantan yang berkokok dan desir angin sepoi-sepoi menjadi musik alam yang mengiringi langkahnya menuju sawah. Bagi para tetangga yang terbangun lebih awal, tubuh yang renta Simbah Parji berjalan pelan dengan tongkat kayu sudah menjadi pemandangan yang akrab di jalan setapak menuju persawahan. Â
Dengan langkah pasti meski sedikit tertatih, Simbah Parji melintasi pematang sawah yang licin, menginjak tanah lembab yang telah basah oleh embun pagi. Kedua kakinya yang sudah berusia, seakan hafal setiap lekuk dan gundukan di jalan sempit itu. Sesekali ia berhenti, mengamati tunas-tunas padi yang mulai menguning, atau menyingkirkan batu kecil yang mungkin mengganggu aliran air. "Jalan ini sudah seperti bagian dari hidupku," bisiknya sambil menyesap secangkir teh hangat dari termos kecil yang selalu dibawanya. Â
Ketika ditanya kenapa masih bersemangat bekerja di usianya, Simbah Parji akan tersenyum sambil mengusap keringat di dahinya. "Bekerja di sawah itu seperti ibadah," katanya dengan mata berbinar, "Setiap butir beras yang kita hasilkan adalah berkah, setiap helai padi yang tumbuh adalah anugerah." Bagi Simbah Parji, mengolah tanah bukan sekadar mencari nafkah, melainkan bentuk syukur dan penghormatan pada alam yang telah memberikan kehidupan. Pandangannya yang sederhana namun penuh makna ini sering membuat anak-anak muda di desanya merenung.
Dulu, di usia 20-an, Simbah Parji mulai menggarap sawah bersama suaminya yang telah meninggal sepuluh tahun lalu. Meski kini sendirian, ia tak pernah mengeluh. "Dulu kami berdua, sekarang aku sendiri, tapi sawah ini harus tetap hidup," ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Â Bertani di usia senja bukanlah hal mudah. Cuaca tak menentu, harga pupuk yang naik, dan tenaga yang semakin berkurang sering menjadi ujian. Tapi Simbah Uty punya prinsip "Selama masih bisa berdiri, aku akan terus menanam." Â Anak dan cucunya kerap memintanya beristirahat, tapi Simbah Uty selalu menolak. "Aku tidak mau jadi beban. Selama tanah ini masih bisa memberi makan, aku akan terus bekerja," katanya. Keluarganya pun belajar darinya tentang arti kemandirian dan kerja keras. Â
Simbah Uty tidak pernah menggunakan pestisida berlebihan. Ia lebih memilih cara tradisional, seperti menanam kenikir untuk mengusir hama. "Alam sudah memberi kita banyak, jangan serakah," pesannya pada petani muda di desanya. Â Berkas ketekunannya, sawah Simbah Uty tetap subur meski banyak lahan di sekitarnya beralih fungsi. Warga desa menjadikannya contoh bahwa bertani secara bijak bisa menjaga kelestarian alam. Â Banyak pemuda desa yang mulai melirik pertanian berkat keteladanan Simbah Uty. "Lihat Simbah Uty, usia tak menghalanginya untuk produktif. Kita yang muda harusnya lebih semangat," kata salah satu pemuda yang kini ikut mengelola kelompok tani. Â
Simbah Uty membuktikan bahwa petani sejati tidak pernah mengenal kata pensiun. Di usianya yang telah senja, ia tetap setia menggarap sawahnya dengan tangan keriput namun penuh ketelatenan. Bagi banyak orang, usia 70-an mungkin saatnya untuk beristirahat, tetapi bagi Simbah Uty, justru menjadi bukti bahwa cinta pada tanah tak mengenal batas usia. "Selama kaki masih bisa melangkah dan tangan masih bisa mencangkul, aku akan terus bekerja," ujarnya dengan semangat yang menginspirasi.
Bagi Simbah Uty, sawah bukan sekadar sepetak tanah, melainkan nafas kehidupannya yang sesungguhnya. Setiap jengkal tanah basah itu telah menjadi saksi bisu suka duka perjuangannya - dari masa muda penuh semangat hingga kini di usia senja. Tanah itu telah memberinya segalanya yang saat ini bisa menghidupi keluarganya, mengajarkan kesabaran, dan memberi makna dalam setiap tarikan nafasnya. "Aku mungkin miskin harta, tapi kaya akan berkat dari tanah ini," katanya sambil memandang hamparan padi yang menguning.