Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Apa Enaknya Jadi Walikota di Jakarta?

9 November 2011   14:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:52 1421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jabatan Walikota atau Bupati sangatlah bergengsi saat ini. Mau bukti? Lihat saja pemilukada di berbagai Kota/Kabupaten di Indonesia. Sangat semarak dan heboh. Money politics menjadi bagian tak terpisahkan dari proses ini. Konon, seorang kandidat Walikota/Bupati bisa menghabiskan uang hingga puluhan miliar.

Mengapa posisi ini menjadi begitu strategis? Padahal, berapa sih gaji resmi seorang Walikota/Bupati? Sudah menjadi rahasia umum bahwa pendapatan Walikota/Bupati bukan hanya mengandalkan dari gaji, melainkan dari berbagai proyek di daerah.

Runtuhnya rezim orde baru, secara otomatis merombak total kerangka berbangsa dan bernegara kita. Asas sentralistik lekas-lekas digantikan oleh desentralisasi. Implementasi dari asas desentralisasi adalah otonomi daerah. Setiap daerah otonom diberikan hak untuk mengatur dan mengelola wilayahnya sendiri.

Awalnya, otonomi daerah diletakkan pada tingkat Provinsi (UU No.22/1999). Tapi, sekarang sudah bergeser ke Kota/Kabupaten (UU No.32/2004). Boleh jadi ini dimaksudkan untuk semakin mendekatkan lokus kekuasaan kepada masyarakat lokal, yang memang lebih tahu apa kebutuhannya.

Alih-alih semakin baik dalam hal pelayanan publik, Kota/Kabupaten yang kini menjadi daerah otonom itu tak kunjung menunjukkan perbaikan. Orientasi para pejabatnya masih pada menimbun kekayaan semata.

Ironisnya, pemekaran daerah kian menjamur nyaris di semua provinsi. Motifnya apalagi kalau bukan mengincar uang. Dengan menjadi daerah otonom, otomatis mereka akan mendapat Dana Alokasi Umum (DAU). Selain itu, para birokrat juga berkesempatan menduduki posisi lebih tinggi di daerah yang baru dimekarkan tersebut lantaran semua posisi masih lowong.

Jakarta dan Kekhususannya

Well, itu semua adalah gambaran umum kondisi riil yang terjadi di Indonesia saat ini. Tapi, ada satu daerah yang berbeda. Ya betul, Jakarta. Sebagai Daerah Khusus Ibukota, Jakarta diatur tersendiri oleh UU Nomor 29 Tahun 2007.

Tidak seperti di daerah lain, pemerintah pusat hanya memberikan otonomi tunggal pada tingkat provinsi. Lima wilayah Kota dan satu Kabupaten yang ada di Jakarta bukanlah daerah otonom, melainkan wilayah administratif saja.

Kota dan Kabupaten Administrasi di Jakarta juga dipimpin oleh seorang Walikota/Bupati. Bedanya, mereka tidaklah dipilih melalui mekanisme pemilukada. Jabatan Walikota/Bupati adalah bagian dari struktur birokrasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. So, jika Anda bukan seorang Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemprov DKI Jakarta jangan mimpi untuk menjadi Walikota di Jakarta.

Selain itu, Kota dan Kabupaten di Jakarta juga tidak memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Juga tidak bisa membuat Peraturan Daerah (Perda), dan tidak memiliki APBD sendiri. Semuanya menginduk di Provinsi.

Dari segi efisiensi dan efektivitas kerja,sistem tersebut sangat baik. Koordinasi kan sangat sulit tentunya jika masing-masing Kota di Jakarta merupakan daerah otonom. Sedangkan sebagai Kota Administrasi, semuanya bisa dikendalikan oleh Gubernur.

Berarti enak dong jadi Walikota di Jakarta? Eits, nanti dulu. Dalam pandangan saya justru sebaliknya. Walikota di Jakarta jauh berbeda dengan rekan sejawatnya di daerah lain. Jika di provinsi lain seorang Walikota adalah penguasa tunggal wilayahnya, di Jakarta posisi mereka tak ubahnya seorang koordinator saja.

Kita ambil contoh dalam persiapan menjelang Adipura. Seorang Walikota Tangerang misalnya, mudah saja bagi dia menginstruksikan Kepala Dinas Kebersihan untuk melakukan tindakan tertentu. Tapi di Jakarta, tidak bisa begitu.

Di tingkat Kota/Kabupaten di Jakarta memang ada yang namanya Suku Dinas, sebagai pelaksana teknis bidang-bidang tertentu. Namun, Suku Dinas bukanlah “perangkat Kota/Kabupaten” melainkan “perangkat pada Kota/Kabupaten”. Perbedaan satu kata “pada” menjadi begitu krusial.

Seandainya Suku Dinas adalah perangkat kota artinya ia berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota. Tapi, sebagai perangkat pada kota mereka tetap berada di bawah dan bertanggung jawab pada Dinas di Provinsi.

Percuma Walikota diberikan banyak kewenangan. Sudah barang tentu mereka tidak akan mampu melaksanakannya. Lha wong, personel dan anggarannya tidak diturunkan. Walikota di Jakarta saat ini tak ubahnya seorang Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lain, yang membawahi Sekretaris, Kepala Bagian, dan lain-lain.

[caption id="attachment_142674" align="alignleft" width="300" caption="Walikota Jakarta Timur dengan pakaian kebesarannya"][/caption]

Yang lebih pahit adalah tekanan kepada Walikota datangnya dari ‘atas’ dan ‘bawah’. Sebagai kepala wilayah, Walikota bertanggung jawab kepada Gubernur atas wilayahnya. Seandainya satu wilayah mendapat penilaian buruk saat Adipura atau lomba lainnya, sudah pasti Walikota yang akan disalahkan. Ia juga harus memuaskan masyarakat yang dipimpinnya. Maju kena, mundur kena.

Masih mau jadi Walikota di Jakarta?

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun