Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama FEATURED

Bagaimana Nasib Jakarta Tanpa Status DKI?

20 Juni 2019   09:09 Diperbarui: 22 Juni 2022   06:23 2944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Antara Foto/Sigid Kurniawan)

Pidato yang sama ia ulangi dua tahun berselang, sehingga akhirnya Penetapan Presiden Nomor 10 Tahun 1964 dibuat berlaku surut sejak 22 Juni 1964.

Gagasan memindahkan ibu kota tidak benar-benar hilang setelah itu. Justifikasi bahwa Bung Karno telah memilih salah satu kota di Kalimantan Tengah untuk menjadi ibu kota baru sepertinya tidak tepat. Setidaknya bisa kita merujuk pada penjelasan Penetapan Presiden Nomor 10 Tahun 1964, khususnya poin kedua yang berbunyi :

"Dengan dinyatakan Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta Raya tetap menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia dengan Jakarta, dapatlah dihilangkan segala keragu-raguan yang pernah timbul, berhubung dengan adanya keinginan-keinginan untuk memindahkan Ibu-Kota Negara Republik Indonesia ke tempat lain"

Di masa kepemimpinan Soeharto, sempat muncul kabar rencana pemindahan pusat pemerintahan ke daerah Jonggol, Jawa Barat. Di era Susilo Bambang Yudhoyono juga ide ini pernah dikaji, meski tanpa menunjuk alternatif lokasi.

sumber: jakarta.go.id
sumber: jakarta.go.id

Kekhususan Jakarta 
Jakarta sebagai daerah khusus ibu kota saat ini menerima desentralisasi asimetris, yaitu kewenangan yang berbeda jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. 

Pengaturan itu termuat dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan asas lex spesialis melalui UU tersebut, maka ada beberapa hal dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang tidak berlaku di Jakarta. Apa saja sih perlakuan berbeda yang didapat Jakarta dengan menyandang status ibu kota negara?

Satu hal yang paling mudah diingat mungkin soal perlakuan dalam pemilihan kepala daerah (gubernur). Jika di daerah lain peraih suara terbanyak -berapapun angkanya- langsung terpilih, tidak demikian dengan pemilihan Gubernur Jakarta. Pemenangnya harus meraih suara 50% + 1 (Pasal 11).

Putaran kedua akan digelar jika pada putaran pertama tidak ada yang memenuhi kualifikasi tersebut. Seperti pilkada 2017 lalu, pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat (meraih 42,99% suara) bisa mempertahankan kursi gubernur dan wakil gubernur andai pengaturannya sama dengan daerah lain. 

Tapi dengan aturan yang berbeda, maka digelarlah putaran kedua yang kita tahu bersama dimenangkan oleh Anies Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno.

Selain perbedaan dalam pilkada ini, sepertinya tidak banyak yang tahu apa lagi kekhususan Jakarta. Otonomi tunggal adalah yang utama. Tidak seperti di daerah lain di mana kabupaten/kota adalah daerah otonom, di Jakarta hanya ada kabupaten/kota administrasi. Perbedaan kedudukan ini melahirkan sejumlah turunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun