Mohon tunggu...
T Hindarto
T Hindarto Mohon Tunggu... -

Peminat Kajian Teologi, Sejarah dan Fenomena Sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

NYAI DAN PERGUNDIKAN: REALITAS SOSIAL DI ERA KOLONIALISME

28 September 2015   22:31 Diperbarui: 30 September 2015   22:15 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Jika bab-bab sebelumnya mengulas asal usul dan sebaran pernyaian dan stigma negatif perihal pernyaian dalam keluarga laki-laki Belanda di Hindia Belanda, maka Bab Keenam mengulas perihal anak-anak yang dihasilkan dari pergundikan laki-laki Eropa Belanda dengan para Nyai Pribumi di Hindia Belanda. Dalam bagian ini diulas perihal sejumlah kekuatiran akan dampak sosial anak-anak hasil pergundikkan yaitu “bahwa anak-anak ini dapat membahayakan ketertiban kolonial” (hal 163). Regie Baay memotret realita anak-anak hasil pernyaian dan pergundikkan terbagi dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah “anak-anak emas” (gouden kind). Mereka adalah anak hasil pergundikkan dimana ayah mereka “merupakkan pengusaha sukses, pejabat tinggi atau orang yang memiliki pekerjaan penting” (hal 164) dan mereka ini menerima sejumlah keistimewaan yaitu, “Setelah menyelesaikan pendidikkan, kebanyakkan dari anak-anak ini kembali ke tanah kelahiran untuk meniti karier. Yang lainnya tetap tinggal di Belanda karena menikah dengan pasangan Belanda atau karena ayah mereka, tanpa istri Asianya, kembali menetap di Belanda” (hal 165). Kelompok kedua adalah anak-anak yang dikategorikan “laskar para Indo-Paupers” (het leger van Indo-paupers). Mereka adalah, “anak-anak yang kahir dari hubungan campur hidup dalam lapisan paling rendah masyarakat Hindia Belanda” (hal 168). Mereka inilah yang kerap mengalami berbagai prasangka negatif, perlakuan diskriminatif. Kondisi mereka akan diperparah dengan adanya peraturan yang disebut Delftse prerogatief (hak prerogatif Delft) pada 1842 dimana seseorang tidak bisa mendapatkan jabatan tinggi tanpa melewati ujian kepegawaian di Akademi Delft dan anak-anak Indo Eropa hasil pergundikkan sangat sulit masuk dalam akademi tersebut.


Akibat pengabaian, diskriminasi, ketiadaan akses pendidikan justru telah menciptakan berbagai kelompok Indo-paupers yang dipenuhi rasa dendam dan kebencian. Tingkat pengangguran dan kemiskinan serta kejahatan diantara mereka tinggi bahkan ada gadis-gadis Indo Eropa miskin terkadang dijual ibunya kepada orang Tionghoa kaya dan “Banyak orang Indo-Eropa yang merasa seperti hidup di negeri kolonial tak bertuan dengan kesempatan hidup sebagai kaum marjinal. Merekapun mencoba menemukan jalan keluar lewat praktik penyelundupan opium, pencurian dan menenggelamkan diri di rumah judi dan pelacuran. Mereka sampai pada sebuah proses dimana mereka ‘terperosok di pinggiran kampung’ yang berarti merosot hingga ke level Pribumi dari fisik hingga ruang hidup” (hal 172). Kondisi-kondisi di atas mendorong dibentuknya sebuah komisi di bawah kepemimpinan D.F.W. van Rees, Direktur Departemen Dalam Negeri pada tahun 1902 untuk melakukan penyelidikkan penyebab “kemiskinan di antara orang-orang Eropa di Hindia Belanda” (hal 176). Sekalipun telah dilakukan upaya penyelidikkan dan pembentukkan komisi, “Hanya sedikit efek yang muncul dari penyelidikkan terhadap keadaan para Indo-Eropa miskin. Pemberantasan kemiskinan yang nyata tetap menjadi urusan pihak swasta” (hal 178).


Regie Baay menelisik adanya berbagai upaya diskriminasi terhadap anak-anak Indo Eropa yang dianggap lebih rendah dari Eropa asli disebabkan oleh berkembangnya Teori Hereditas di Eropa yang dipengaruhi langsung oleh Teori Evolusi Darwin dan teori Eugenetika Francis Galton yang merugikan keberadaan anak-anak Indo Eropa karena, “Tidak diragukan lagi teori-teori tersebut juga mempengaruhi pencitraan kulit putih terhadap para Indo-Eropa. Gagasan pada waktu itu adalah bahwa anak-anak berdarah campuran menyatukan sifat-sifat jelek kedua ras dan itu menjadi alasan utama mengapa selalu terjadi sesuatu dengan orang Indo-Eropa”(hal 180). Berbagai roman karya orang-orang Hindia Belanda kerap menyebarluaskan anggapan-anggapan stigmatif tersebut dalam tulisan mereka. Bahkan kalaupun ada pemujaan terhadap kecantikkan wanita Indo-Eropa namun bukan dalam pengertian yang positip melainkan negatif yaitu, “Karena kecantikannya, tidak jarang mereka menjadi genit, malas dan seronok” (hal 185) sebagaimana digambarkan dalam roman Nummer Elf karya P.A. Daum. Berbeda dengan wanita Indo-Eropa yang dipuji karena kecantikannya sekalipun dalam konotasi negatif, maka nasib pria Indo Eropa sama sekali tidak memiliki satupun keuntungan dari pencitraan mereka karena, “Mereka dinilai sebagai orang yang tidak dapat dipercaya, malas, bodoh, apatis dan memiliki kecenderungan kepada fatalisme” (hal 185) sebagaimana terekam dalam roman berjudul Jan Fusilier karya S. Frankes. Akibat pendiskriminasian ini menimbulkan dorongan untuk memperoleh emansipasi di kalangan Indo Eropa. Terhitung akhir 1880-an muncul organisasi Indo Eropa bernama Soeria Sumirat. Lalu tahun 1898 didirikan Indische Bond serta Insulinde pada tahun 1907 yang didirikan oleh E.F.E. Douwes Dekker yang kemudian pada tahun 1912 mengubah namanya menjadi Indische Partij. Kemudian tahun 1919 muncul Indo-Europeesch Verbond (IEV) yang lebih moderat dibandikan Indische Partij yang lebih radikal (hal 187-191).


Seiring dengan diterapkannya Politik Etis (1901) di Hindia Belanda, terjadi proses Hindianisasi yaitu “Jabatan-jabatan yang sejak dulu disediakan khusus bagi orang Eropa dan para Indo-Eropa dalam jumah besar (terutama di pemerintahan Hindia Belanda dan bagian administrasi dim perusahaan-perusahaan swasta) semakin diisi oleh orang Indonesia yang bayarannya lebih murah. Berdasarkan prinsip-prinsip politik etis dan setelah dilancarkannya protes dari pihak Indo-Eropa, diberlakukan persamaan tugas warga sipil pada 1913. Peraturan ini menetapkan bayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama bagi orang Eropa, Indo-Eropa dan Indonesia” (hal 192-193).


Pada Bab Ketujuh, Regie Baay menjelaskan gambaran-gambaran lain di luar gambaran-gambaran arus utama yang kerap mendiskreditkan dan melekatkan stigma negatif terhadap Nyai khususnya melalui surat kabar dan kesusastraan kolonial. Sejumlah penulis roman sekalipun memberikan penilaian negatif dalam karyanya namun pada kesempatan lain penulis tersebut memuji kesetiaan seorang Nyai seperti terungkap dalam karya J.A. Uilkens dalam Indische Typen, lalu P.A. Daum dalam karyanya Aboe Bakar, lalu penulis perempuan Eropa bernama Marie Frank dalam Een Natuurlijk Kind en Andere Nederlandsch-Indische Verhalen serta Annie Foore dalam karyanya De Van Sons. Bukan hanya penulis Eropa namun penulis Indo Eropa pun memperlihatkan pandangan terhadap para Nyai dengan jelas dan tegas seperti Victor Ido yang meletakkan seorang Nyai bukan lagi seorang pembantu namun memainkan peran utama. Lalu ada H. Kommer dengan judul Tjerita Nji Paina dalam bahasa Melayu. Dan yang paling terkenal adalah kisah Nyai Dasima yang muncul dalam versi bahasa Belanda karya A.Th.Manusama pada tahun 1926. Sebelumnya cerita ini muncul pada tahun 1896 dengan judul Tjerita Nyai Dasima yang ditulis oleh seorang Indo-Eropa bernama Gisbert Francis pada tahun 1896. Akhirnya kesusatraan menjelang akhir kolonial yang merekam kisah Nyai adalah karya J. Kleian yang berjudul Nyai Mirdja. Sastra paska kolonial yang mengisahkan kembali kehidupan Nyai dituliskan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia yang mengisahkan mengenai Nyai Ontosoroh gundik Herman Mellema (hal 199-210).


Reggie Bay mengakhiri semua penelusuran perihal keberadaan Nyai dan pergundikan Hindia Belanda pada Bab Delapan, dimana dengan datangnya Jepang ke Indonesia dan mengalahkan Belanda, “telah menciptakan perbedaan yang tajam antara orang-orang Belanda berdarah murni, Pribumi dan berdarah campuran” (hal 223). Para Nyai dan keturunanya mengalami apa yang disebut “konflik kesetiaan yang fundamental” (hal 224) karena mereka harus memutuskan menjadi seorang Pribumi atau menjadi warga negara Eropa. Pada akhirnya, para Nyai ada yang mengambil pilihan menjadi bagian dari orang Eropa dan ada yang mengambil pilihan untuk tetap menjadi Pribumi.


Gema Kisah Nyai Melalui Peran Nyai Ontosoroh Dalam Novel Bumi Manusia


Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer merupakan bagian pertama dari Tetralogi Pulau Buru-nya. Keempat buku tersebut adalah (disertai tahun penerbitan dan pelarangan; semuanya diterbitkan Hasta Mitra) meliputi: Bumi Manusia (1980; 1981), Anak Semua Bangsa (1981; 1981), Jejak Langkah (1985; 1985), Rumah Kaca (1988; 1988). Novel ini mengisahkan tokoh utamanya yang bernama Minke seorang anak bupati di wilayah Jawa Tengah yang sekaligus siswa sekolah HBS (Hogere Burgerschool disingkat HBS adalah pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi). Selain sebagai siswa HBS, Minke kerap membuat cerita-cerita pendek yang dimuat di Koran S.N.v/d D dengan nama samaran Max Tollenar. Pertemanannya dengan Robert Shurhoof yang mengantarkan Minke mengenal seorang gadis bernama Annelies dan kakaknya bernama Robert Melema putri seorang Belanda bernama Mellema dan gundiknya bernama Nyai Ontosoroh. Nyai Ontosoroh sendiri sebermula bernama Sanikem. Dikarenakan dipercayakan mengelola Boerderij Buitenzorg di Wonokromo dan masyarakat pribumi Jawa tidak bisa mengeja dengan baik nama perusahaan tersebut, jadilah nama Ontosoroh untuk menamai Sang Nyai.


Kisah asmara Minke dan Annelies penuh dengan liku yaitu canda dan duka bersamaan. Bukan hanya dikarenakan perbedaan status sosial diantara keduanya yang terbentang lebar namun juga status Annelies sendiri yang tidak memiliki kejelasan secara yuridis, apakah sebagai anak seorang Pribumi atau anak seorang Eropa. Keterbelahan status dan masa depan Annelies menggambarkan kondisi kejiwaan dan status hukum anak-anak Indo-Eropa di masa kolonialisme.


Novel ini bukan hanya menceritakan kisah asmara yang pelik diantara dua sejoli yang berbeda status sosial dan ras namun juga mengisahkan ketegaran dan keberanian serta kecerdasan seorang Nyai bernama Ontosoroh yang telah melewati masa-masa sulit dalam kehidupan masa mudanya hingga dia memiliki seorang anak bernama Annelies dan Robert Surhof. Seperti telah dijelaskan dalam buku Regie Baay bahwa potret seorang Nyai begitu buruk dalam sistem sosial masyarakat dan kesusastraan kolonial namun melalui novel-nya, Pramoedya Ananta Toer melakukan konstruksi baru dengan menempatkan aspek yang lebih positip dalam tokoh Nyai Ontosoroh. Beberapa sifat dan karakteristik positip tokoh Nyai Ontosoroh dapat kita lihat al.,


1. Nyai Yang Pandai Mengelola Perusahaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun