Mohon tunggu...
Shelty Julia
Shelty Julia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kini Desa yang Belum Pernah Melihat Mobil Itu Terlistriki

1 September 2017   00:04 Diperbarui: 1 September 2017   01:39 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kabupaten Ngada. Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten yang berdekatan dengan Kabupaten Ende yang dikenal dengan Gunung Kelimutu dan Danau 3 Warnanya ternyata masih memiliki desa yang warganya belum pernah melihat kendaraan bermotor. Tahun yang lalu, sesuai dengan rutinitas kerja, saya ditugaskan untuk mengunjungi Desa Heawea. Desa yang terletak beberapa jam perjalanan darat dari Kabupaten Ende. Meskipun sudah beberapa tahun yang lalu, tapi saya ingat betul perjalanan menuju Heawea yang sangat berkesan itu. Jalanan berliku dan menaiki dan menuruni gunung dengan pemandangan sabana dan stepa. Kalau tidak salah, nyaris 3-4 gunung kami naiki kemudian turuni kembali sampai akhirnya dapat mencapai Heawea. Rasanya saya sudah sangat bosan dan lelah karena terguncang hebat selama beberapa jam di dalam mobil dan masih belum sampai juga.

Saya bahkan sempat nyeletuk "ini kenapa ga dipotong aja gunungnya dibuat jalan tembus. Kok ya harus naik turun beberapa gunung begini."Sepanjang perjalanan, kami banyak mengobrol dengan pekerja di sana. Menurut mereka, warga desa di sana belum pernah melihat mobil sebelumnya. Saat pertama kali mereka datang untuk melakukan verifikasi lokasi, warga terheran-heran melihat kedatangan sebuah besi kotak yang bisa berjalanan. Mereka pun penasaran dan ramai-ramai mendekati mobil. Secara total, kedatangan kami ke sana adalah ketiga kalinya mereka kedatangan mobil setelah sebelumnya mobil bolak-balik untuk mengantar komponen dan bahan material untuk pembangunan PLTS di sana. 

Mungkin menjadi pertanyaan. Jika mereka belum pernah didatangi mobil sebelumnya, bagaimana mereka bermigrasi ke daerah sekitar? Kuda masih digunakan sebagai alat transportasi utama di sana. Sepanjang perjalanan menuju Heawea pun, kami bertemu beberapa warga yang sedang beristirahat dengan kuda mereka. Pekerja di sana pun mengatakan bahwa sebenarnya lebih baik dan lebih mudah menggunakan kuda untuk mengangkut peralatan dikarenakan gunung dan jalanan yang terlalu menanjak dan sulit diakses. Apalagi kalau hujan turun. 

Tanah menjadi becek dan licin.Foto di atas mungkin bisa memberikan gambaran seperti apa akses jalan ke sana. Jika tidak turun hujan saja, jalanan cukup rawan karena tanah menanjak curam yang belum stabil dan kiri kanan dibatasi jurang. Salah sedikit saja, mobil bisa terjeblos ke sana. Saya jadi langsung paham kenapa lebih baik menggunakan kuda daripada mobil. Walaupun rasanya seperti kita kembali lagi ke jaman sebelum kemerdekaan. Tapi ya memang begitulah tantangan alam di sana. Satu pertanyaan saya, bagaimana bisa asal muasalnya warga desa tersebut hidup terpisah jauh dengan desa-desa di sekitarnya. 

Menurut orang setempat, biasanya mereka tinggal jauh di pelosok karena dulunya menghindar dari musuh atau penjajah. Karena sembunyi terlalu lama hingga bertahun-tahun, akhirnya terbentuklah komunitas yang semakin membesar jumlahnya.Setibanya di desa Huawea setelah bosan menempuh perjalanan naik turun gunung dengan jalanan tanah bergelombang, kami disambut dengan gerbang yang menutupi jalanan utama desa. Tanda-tanda bahwa memang tidak ada alat transportasi yang digunakan di desa tersebut. Jarak antar monumen-monumen tersebut hanya dapat dilewati oleh orang dan hewan ternak. 

Karena alasan ini pulalah, pada saat pembangunan PLTS, komponen-komponen serta material bangunan digotong dari gerbang menuju lokasi.Di lokasi terpasangnya PLTS, dipasang pagar yang mengelilingi lokasi. Menurut kepala desa, pagar tersebut agar PLTS tidak menjadi arena bermain anak-anak. Maklumlah, dengan kondisi desa seperti itu, warga selalu antusias melihat hal baru dan sangat rawan jika sampai tidak dapat terkontrol. Pada saat kami di sana saja, anak-anak kecil menonton kami dari luar pagar. Rasanya jadi seperti sedang di kebun binatang dimana pengunjung menonton hewan di dalam kandang besi.Tapi saya senang dan bangga rasanya juga terharu karena kini warga desa sudah terlistriki. 

Jarang-jarang sebuah desa mengenal listrik lebih dulu dibandingkan sepeda motor. Kini, meskipun mereka terpisah jauh sekitar, tapi warga desa tetap bisa beraktivitas di malam hari. Kepala desa juga menyampaikan mereka berencana untuk membangum sebuah pengolahan kayu dengan memanfaatkan listrik dari PLTS. Satu pencapaian lain yang memang diharapkan oleh ESDM berupa munculnya usaha-usaha produktif dari PLT EBT. Semoga akan banyak Heawea-Heawea lainnya yang bisa menghasilkan usaha produktif dan menjadikan kegiatan yang berguna dari dibangunnyan PLTS di desa mereka.Ps. 

Cerita ini merupakan cerita akhir dari rangkaian #15HariCeritaEnergi. Banyak cerita yang mungkin terlewat atau bahkan tidak tersampaikan dengan baik dalam tulisan-tulisan di blog ini. Namun pada intinya, sampai di tahun ketiga saya bekerja untuk ESDM, banyak sekali pengalaman hidup baru bagi saya. Mengenal ribuan warga desa dengan ribuan karakteristiknya masing-masing dalam menghadapi dan menyesuaikan dengan teknologi PLT EBT menjadi cerita baru bagi saya. Saya yakin, masih ada ribuan bahkan puluhan ribu desa yang belum tersentuh yang menjadi tugas berat dan tantangan besar kami sebagai pemerintah dan tugas kita bersama sebagai warga Indonesia untuk menjamin pemerataan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Mari kita kerja bersama untuk Indonesia melistriki 25.000 desa tertinggal dengan energi baru terbarukan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun