Mohon tunggu...
Sheila Kartika
Sheila Kartika Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang perempuan yang mengaku sebagai bocah petualang, tertarik dengan media massa, media sosial, dan lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Museum Bank Indonesia, Bukan Sekedar Museum

4 Januari 2011   06:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:59 1220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa anak melompat-lompat dengan ceria di ruangan yang gelap dan sejuk. Sambil tertawa dan bergurau dengan temannya, mereka berusaha menangkap koin-koin yang melayang di hamparan bintang. Begitu koin sudah terjebak dalam kedua tangan mereka, seketika muncul teks informasi mengenai koin tersebut. Sekilas melihat pemandangan tersebut, rasanya seperti berada dalam wahana permainan. Wahana permainan itu akan Anda jumpai ketika Anda berkunjung ke museum. Ya, tepatnya Museum Bank Indonesia.

Hari itu tidak terlalu ramai. Pintu kaca otomatis terbuka. Seorang petugas keamanan meminta tas dan barang bawaan untuk diperiksa. Metal detector juga menjadi salah satu atribut pelengkap keamanan, seakan memasuki pusat perbelanjaan atau hotel berbintang. Selesai berurusan dengan keamanan, tangga yang lebar dengan pembatas besi di bagian tengah yang berwarna emas, menyambut pengunjung. Menaiki beberapa anak tangga dan sampailah di pelataran aula yang besar dan megah. Mendongak ke atas, maka terlihat atap yang sangat tinggi dan berbentuk melengkung. Terasa seperti bukan di Indonesia, bukan di Jakarta tetapi seperti memasuki gedung di belahan dunia Eropa. Pojok sebelah kanan sebelum melewati pintu putar yang tidak lagi bisa diputar, ada tempat penitipan barang. Tas dan barang bawaan harus dititipkan, kecuali dompet, telepon genggam, dan kamera diperbolehkan untuk dibawa.

Sebuah meja resepsionis cukup besar berbentuk setengah lingkaran dan dua orang petugas menyambut dengan senyum. “Selamat datang di Museum Bank Indonesia.” Setelah mengisi buku tamu, petugas menyobek tiket dan memberikannya pada pengunjung. “Tiket masuknya gratis,” tambahnya.

Masuk ke gedung museum saja sudah menimbulkan sensasi tersendiri. Jauh dari kesan angker dan mistis, gedung Museum Bank Indonesia tampak megah dan anggun. Gedung Museum Bank Indonesia sendiri termasuk salah satu bangunan cagar budaya yang ditetapkan melalui UU Cagar Budaya no.5/1992. Bangunan bergaya neoklasik Eropa itu sudah berdiri sejak 1641 dan resmi digunakan pada 8 April 1828 sebagai De Javasche Bank (DJB). Sebelum menjadi DJB, gedung itu merupakan rumah sakit yang disebut Bineenhospital. Sejak 1910, gedung itu melewati lima tahap pembangunan hingga 1937. Tidak banyak perubahan yang dilakukan pada gedung putih itu sejak pembangunan terakhir.

Tak lupa gedung yang sudah cantik dilengkapi pula dengan berbagai ornamen yang apik dan menarik. Ornamen kayu jati digunakan untuk pintu, panel, dan pelengkap interior seperti hiasan dinding. Kaca lukis (gebrand-schilderde-glas) berwarna-warni dengan berbagai gambar yang berhubungan dengan kehidupan masa Hindia Belanda dan gambar dewa-dewi Yunani semakin menambah kecantikan gedung. Tak heran kalau gedung ini masuk dalam bangunan cagar budaya. Daripada ditelantarkan, jadilah gedung ini digunakan sebagai museum. Gubernur Bank Indonesia mengeluarkan surat keputusan dan akhirnya museum diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Juli 2009.

Layar LCD berukuran 32 inch dilengkapi dengan panel kiosk layar sentuh terdapat di sisi kiri setelah melewati meja resepsionis. Isi bangunan terasa kontras dengan nuansa gedung itu sendiri.Percampuran antara teknologi multimedia dan modern dengan arsitektur gedung yang antik. Berbagai informasi disajikan dalam panel kiosk layar sentuh, mulai dari sejarah gedung, arsitektur gedung, dan informasi lainnya sekedar pengantar sebelum memasuki museum yang sebenarnya.

Berbelok ke kiri dan menguak tirai, pengunjung masuk dalam Ruang Peralihan. Ruang peralihan merupakan tempat dimana terdapat layar interaktif multimedia tangkap koin. Menggunakan sistem sensor cahaya, pengunjung dapat menangkap koin yang melayang dengan menggunakan bayangan.

Ruang berikutnya adalah Ruang Teater. Berukuran cukup luas, disusun dengan bangku semakin menjauh dari layar semakin menanjak, persis seperti di bioskop. Sayangnya, film tidak selalu diputar. Jika ada rombongan yang datang atau jumlah pengunjung mencapai 30 orang barulah film diputarkan. Biasanya film yang diputarkan adalah film mengenai sejarah Bank Indonesia, ada juga film animasi jika rombongan yang datang adalah anak-anak.

Suara deburan ombak dan burung laut serta lantai dek kayu menyambut pengunjung setelah beranjak dari ruang teater. Pengunjung dibawa ke pelabuhan, kembali ke masa abad ke-9 sampai abad ke-13. Kala itu, rempah-rempah menjadi barang yang langka dan mahal. The golden spices, istilah untuk menyebut pala dan fuli, cengkih, lada, serta kayu manis. Dari situlah cikal bakal perdagangan dan kegiatan ekonomi mulai lahir. Wallpaper dinding dengan gambar laut dan kapal-kapal ditambah dengan replika kapal dagang Jung Java serta tong-tong kayu membuat suasana pelabuhan makin terasa. Dilengkapi pula LCD yang menjelaskan rempah-rempah sebagai komoditas dan kotak kaca berisi rempah-rempah yang dimaksud.

Dari pelabuhan, pengunjung diajak ke bank jaman Belanda. Ruang untuk menerima nasabah dan meja teller dilengkapi patung orang-orang Belanda dengan pakaiannya dan rambut putih keriting khas seperti yang sering digunakan hakim dan jaksa di persidangan jaman dahulu. Bank Courant en Bank van Leening, begitu yang tertera di plang berwarna emas di depan diorama. Bank yang diresmikan pada 1 September 1752 itu ternyata cikal bakal dari perbankan nasional.

Ruangan-ruangan berikutnya menjelaskan sejarah bangsa Indonesia melalui uang dan bank. Dibagi menjadi 6 periode, mulai dari masa penjajahan, kemerdekaan dan proklamasi, revolusi dan pergolakan setelah kemerdekaan, masa Orde Baru, saat pembangunan, masa krisis moneter, hingga sampailah pada masa sekarang.

Di setiap periode disajikan informasi yang lengkap dan dikemas secara menarik. Dengan papan-papan besar dan yang tak pernah luput dari setiap ruangan adalah layar LCD berukuran 32 inch, panel kiosk layar sentuh, serta pengeras suara parabolik yang membuat suara dapat didengar dengan jelas oleh pengunjung dan tidak bercampur dengan suara lainnya. Setiap ruangan dilengkapi dengan 2 panel kiosk layar sentuh. Satu panel untuk memutarkan film di layar LCD. Satu panel lagi adalah menampilkan penjelasan berbentuk animasi. Selain itu, setiap ruangan periode juga dilengkapi dengan diorama yang membawa pengunjung kembali pada masa periode yang dijelaskan. Periode kedua misalnya, tahun 1959-1966 pidato Bung Karno mengenai Bank Indonesia diputar dan bergema dalam ruangan. Pengunjung seperti masuk dalam mesin waktu dan tersedot kembali pada masa itu. Bentangan spanduk unjuk rasa dan foto-foto di dinding ikut menghidupkan suasana.

Beberapa pelajar sibuk bolak-balik dan mencatat informasi di papan. Ada pula yang memegang lembar soal, sedang mengerjakan kuis atau semacamnya. Dengan cermat membaca dan mencari jawaban di papan sembari berdiskusi dengan temannya, mencoba menemukan papan informasi yang tepat untuk mencari jawaban soal. Sementara, beberapa orang lainnya sibuk foto-foto dan mengambil gambar di depan diorama De Javasche Bank di dalam kaca.

Jika tidak hidup pada masa itu, mungkin Anda tidak akan mengenal gunting Sjafruddin. Istilah yang digunakan ketika terjadi penurunan nilai mata uang. Pada Maret 1950, Sjafruddin mengeluarkan kebijakan menggunting uang kertas menjadi dua untuk menyehatkan kondisi keuangan negara. Uang kertas digunting menjadi dua, satu untuk ditukarkan dengan obligasi, belahan satunya lagi tetap dapat digunakan dengan nilai setengah dari uang kertas yang digunting. Mungkin Anda juga tidak mengetahui De Javasche Bank (DJB) merupakan asal muasal Bank Indonesia. DJB dinasionalisasi pada 1 Juli 1953 dan sejak itu lahirlah Bank Indonesia sebagai bank sentral. Masa krisis moneter digambarkan dengan banyaknya telepon di dinding yang berdering dan lampu yang berkedap-kedip. Ternyata telepon tersebut menggambarkan situasi Bank Indonesia yang pesawat teleponnya tidak berhenti berdering saat terjadi krisis moneter. Banyak orang yang menelepon untuk mengetahui apakah bank tempat mereka menyimpan uang luput dari likuidasi atau tidak.

Memasuki bagian periode akhir yaitu dari tahun 1999 hingga sekarang tidak tampak alat peraga serta diorama. Ruangan tersebut masih terbilang kosong hanya ada layar besar berukuran 52 inch. Masih dalam tahap pembangunan rupanya. Keluar dari ruangan tersebut dan menyusuri lorong gedung, pengunjung dapat melihat bagian dalam gedung lantai 2. Bagian tengah dibiarkan kosong dan terbuka. Dari ruangan yang berkesan futuristik dan serba modern, pengunjung kembali disuguhkan nuansa gedung Eropa tempo dulu. Setelah melewati tangga menuju toilet yang di atasnya terdapat kaca patri berukuran besar, sampailah pengunjung pada ruangan terakhir yaitu ruang pameran koin. Terdapat dua ruangan, satu ruangan dikelilingi cermin dengan tumpukan emas batangan dalam kaca di tengah ruangan. Ruangan lainnya, pengunjung seperti memasuki brankas bank. Ruangan pameran tersebut memiliki pintu baja yang tebalnya sekitar 65cm. Kumpulan koleksi uang kertas dan koin di dalam brankas sungguhan, sangat mempesona.

Ruangan koleksi uang ini agak gelap. Pengunjung tidak diperbolehkan menggunakan kilatan lampu kamera akan dikhawatirkan dapat merusak koleksi yang ada. Kotak-kotak kaca dengan kaki kayu yang tingginya satu meter berisikan uang kertas dan juga koin. Pada permukaan kaca, terdapat kaca pembesar yang bisa digeser agar pengunjung dapat dengan mudah mengamati koleksi. Tak hanya uang Indonesia dari jaman dahulu kala hingga saat ini, koleksi uang dari belahan negara lain juga tertata rapi dalam lemari-lemari kayu yang bisa ditarik. Mengesankan.

Ruangan koleksi tersebut adalah bagian terakhir dari museum. Keluar dari situ, pengunjung mendapati tempat penjualan cinderamata dan akhirnya melalui pintu putar yang tidak bisa diputar berseberangan dengan pintu masuk, kembali ke aula utama. Salah seorang pengunjung, Afif Saputra bercerita sambil tersenyum puas, “Ini pertama kalinya saya berkunjung ke Museum Bank Indonesia. Keren banget dan saya sangat terkesan. Tempat ini sangat bagus untuk belajar dan bisa menjadi salah satu alternatif tempat jalan-jalan. Tidak melulu ke pusat perbelanjaan, dengan mengujungi Museum Bank Indonesia, Anda akan mendapatkan suasana dan sensasi yang berbeda. Sangat recommended.”

Memang Museum Bank Indonesia menjadi salah satu tempat menarik yang patut dikunjungi. Dengan konsepnya sebagai cyber museum, tempat belajar yang interaktif dan menyenangkan serta nyaman, kesan museum yang negatif menjadi sirna. Meskipun banyak bagian yang perlu ditambahkan dan belum sempurna, pembangunan terus dilanjutkan. Duty Manager, Gede Aryana menjelaskan,”Pembangunan masih terus berjalan dan berlanjut. Rencananya isi museum akan dilengkapi lagi dan akan dibuat kafetaria sehingga pengunjung bisa menikmati belajar dan menjadikan museum sebagai pilihan tempat untuk menghabiskan waktu luang.”

Museum Bank Indonesia mampu menarik hingga 700 pengunjung pada hari biasa dan 1000 pengunjung pada akhir pekan. Dengan tiket masuknya yang gratis dan full Air conditioner, harusnya lebih banyak lagi pengunjung yang tertarik menyambangi tempat ini. Namun jumlah tersebut bisa dibilang cukup memuaskan dibandingkan dengan museum lainnya. Terletak di Jl. Pintu Besar Utara no. 3 Jakarta Barat bersebelahan dengan Museum Bank Mandiri dan berseberangan dengan halte Transjakarta, Museum Bank Indonesia termasuk dalam kawasan wisata kota tua. Jika dibandingkan dengan Museum Fatahillah, Museum Wayang, danMuseum Seni Rupa dan Keramik yang terdapat dalam satu kompleks, rasanya Museum Bank Indonesia mampu memberikan informasi dan pembelajaran pada pengunjung dan mengemasnya dengan lebih menarik. Mungkin keterbatasan biaya dan anggaran yang menjadi pengganjal, karena Museum Bank Indonesia mendapat biaya operasional dari Bank Indonesia. Sementara museum lainnya berada dalam pengaturan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemprov DKI Jakarta. Gede Aryana, menjelaskan, “Kita punya slogan Museum Bank Indonesia ini bukan sekedar museum ya. Kami mencoba membuat wahana edukasi dengan konsep edutainment yang nyaman, menarik, dan bernilai estetika.” Jika melihat kombinasi yang apik antara gedung tua bernuansa Eropa dicampur dengan teknologi modern dan multimedia, rasanya memang tepat jika dikatakan Museum Bank Indonesia, bukanlah sekedar museum. Mungkin Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemprov DKI Jakarta juga bisa studi banding. Tak perlu jauh-jauh ke luar negeri, cukup studi banding ke Museum Bank Indonesia seperti yang dikatakan salah seorang pengunjung, “Disbudpar harusnya belajar dari BI (Bank Indonesia) tentang bagaimana mengelola museum dan menjadikannya menarik dan atraktif.”

“Jas Merah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah,” kata Bung Karno. Sejarah bisa dipelajari dengan berbagai cara, berkunjung ke museum salah satunya. Museum Bank Indonesia wajib menjadi salah satu museum yang dikunjungi untuk mendapatkan banyak informasi karena setiap lembaran uang dan koin yang Anda genggam saat ini memiliki berjuta cerita di belakangnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun