Mencegah
Bayi Lahir Prematur
Bayi lahir prematur masih menjadi salah satu penyebab kematian bayi baru lahir. Sekitar tiga juta bayi lahir dalam setahun di negara berkembang hanya berumur satu minggu, rerata frekuensi bayi lahir prematur berkisar 10 sampai 12 persen. Biasanya kelahiran bayi prematur berhubungan dengan pecahnya selaput ketuban premature.
dengan mengetahui tanda awal kontraksi prematur dan menghindari kelahiran prematur, berarti kita telah berupaya menurunkan insidensi kematian bayi.
Bayi lahir prematur adalah bayi yang lahir dengan usia kehamilan di bawah  37 minggu, yang terhitung dari hari pertama haid terakhir. Dalam keadaan normal, usia kehamilan seseorang antara 37 sampai 42 minggu. Umumnya kejadian lahir prematur akibat adanya aktivasi prematur proses kontraksi rahim yang secara normal terjadi saat usia kehamilan di atas 37 minggu dan umumnya saat usia kehamilan 40 minggu.
Ada beberapa faktor penyebab kontraksi prematur, di antaranya, akibat overdistensi berlebihan otot rahim dan selaput ketuban, perdarahan di bawah selaput ketuban, dan akibat adanya infeksi dan peradangan di dalam rahim ibu hamil. Umumnya, proses infeksi ini telah terjadi dalam beberapa minggu bahkan berbulan-bulan sebelum terjadinya tanda-tanda kelahiran prematur. Infeksi air seni tanpa keluhan sering dihubungkan dengan pecahnya ketuban prematur (asimptomatik bakteriuria).
Biasanya proses kelahiran prematur diawali oleh beberapa proses di atas tadi. Yang perlu diperhatikan, sebaiknya seorang ibu yang mengeluh dengan perasaan demam, adanya kontraksi atau rasa tegang berlebihan, segera memeriksa dan berkonsultasi ke dokter keluarga/dokter kandungan demi mencegah kelahiran prematur.
Umumnya risiko overdistensi terjadi pada kehamilan kembar, sedangkan kejadian pecahnya ketuban prematur pada usia kehamilan 24 sampai 28 minggu sering dihubungkan dengan adanya pengaruh faktor infeksi.
Tanda-tanda kelahiran prematur
Penting bagi ibu hamil mengetahui awal adanya proses kelahiran prematur yang ditandai dengan mulai timbulnya rasa mules yang teratur akibat kontraksi rahim yang diikuti dengan adanya pembukaan serviks.
Perlu diingat walaupun seseorang ada tanda awal prematur kontraksi, tetapi sekitar 30 persen akan hilang, dan 50 persen ibu hamil yang dirawat dengan prematur kontraksi akhirnya melahirkan sampai usia kehamilan cukup bulan. Kadang kala sulit membedakan apakah seorang ibu mengalami kontraksi persalinan benar atau palsu. Secara ilmiah untuk memastikan suatu kontraksi asli atau tidak bisa diketahui dengan memeriksa perubahan molekul-molekul di otot rahim, mulut rahim, dan selaput kehamilan seperti dengan pemeriksaan fetal fibronektin dari cairan vagina.
Salah satu strategi yang selama ini digunakan adalah dengan pemberian obat-obatan untuk menghentikan kontraksi rahim dengan pemberian obat-obat tokolitik. Hal ini penting karena dengan adanya kontraksi awal akan merangsang proses lanjutan terjadinya mekanisme kontraksi sebenarnya. Salah satu obat yang dianjurkan sesuai dengan anjuran Food and drug Administration (FDA) adalah ritodrin. Sekitar 80 persen  wanita dengan kontraksi prematur yang diterapi dengan ritodrin kehamilannya bisa dipertahankan sampai 24-48 jam.
Usaha lain yang dilakukan di samping menunda proses kontraksi rahim tadi adalah dengan pemberian hormon kortikosteroid, yang bertujuan mengurangi risiko sindroma gawat nafas bayi saat lahir, pencegahan perdarahan intraventrikel, radang usus dan keadaan lain yang meningkatkan risiko kematian bayi.
Umumnya efek suntikan akan terjadi setelah 18 jam disuntik dengan dosis pertama, dan pengaruh maksimal akan terjadi dalam 48 jam pascasuntikan. Selain itu, penting sekali diperhatikan kerja sama yang baik dengan tim perinatologis (dokter anak) untuk persiapan pertolongan bayi segera setelah lahir. Karena tanpa perawatan yang baik pascalahir akan sia-sia saja upaya pemberian obat-obatan tadi.
Selain obat ritodrin juga dipakai obat yang bisa menghambat perangsang kontraksi rahim, seperti magnesiumsulfat, calsium chanel blockers, dan prostaglandin sinthesis inhibitor. Secara teoritis obat yang diberikan akan membuat otot rahim relaksasi dengan mengikat reseptor adrenergiknya sehingga akan meningkatkan kadar protein kinase yang akan menekan reaksi awal kontraksi (myosin-light chain kinase). Penelitian menunjukkan bahwa insidensi bayi lahir prematur setelah pemberian obat ini menurun sangat signifikan. Obat lain yang bisa dipakai untuk mencegah kontraksi prematur adalah nitrik oksida (N20) dengan tujuan menstabilkan tonus otot polos rahim dengan pemberian transdermal glyceryl trinitrat. Selain itu juga bisa dengan pemakaian magnesium sulfat (MgSO4), dengan harapan terjadi hyperpolarisasi yang menghambat myosin light chain kinase dan kompetisi dengan kalsium intraselular.
Obat calsium beta bloker juga bisa digunakan untuk mencegah kontraksi prematur. Obat ini sering digunakan untuk pengobatan tekanan darah tinggi. Pemberian calsium bloker bertujuan menghambat influks kadar calsium intrasel, sehingga otot rahim tetap dalam relaksasi. Obat antiprostaglandin bisa juga digunakan, obat anti-Cyclooxygenase (COX)/prostglandin sintetase seperti indometasin sering juga dipakai untuk mencegah kontraksi prematur.
Sangat perlu diperhatikan oleh ibu hamil adalah mencegah terjadinya kontraksi prematur terutama bagi kelompok berisiko, misalnya dengan kehamilan ganda. Selain itu, bagi kelompok yang mempunyai riwayat kelahiran prematur, sebaiknya mengurangi frekuensi berhubungan badan saat usia kehamilan di atas 28 minggu, demi menghindari dampak relatif prostaglandin dari cairan sperma.
Umumnya usia kehamilan di bawah 34 minggu berisiko belum matangnya paru seorang bayi karena surfaktan suatu zat yang dibutuhkan untuk kembangnya paru belum sempurna terbentuk. Bila ada keluhan demam dan kontraksi prematur konsultasikan diri segera ke dokter, demi persiapan risiko bila terjadi kelahiran prematur. Lakukan pemeriksaan laboratorium darah dan urin pada usia kehamilan awal dan saat usia kehamilan 7 bulan demi menghindari infeksi asimptomatik yang tidak diketahui.
Risiko Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini merupakan salah satu penyebab komplikasi kehamilan yang ditakutkan oleh tenaga medis. Ketuban pecah berisiko bayi lahir secara prematur.  Ketuban pecah dini didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban di bawah 37 minggu usia kehamilan. Peluang ketuban pecah dilaporkan sekitar tiga persen dari populasi wanita hamil. Penyebab sesungguhnya belum diketahui secara pasti, namun ada dugaan bahwa infeksi dan peradangan selaput khorion merupakan salah satu penyebab kolagen yang menyusun dinding ketuban pecah. Akibatnya, berisiko meningkatkan kesakitan pada bayi dan ibu, seperti gangguan sistim pernafasan, infeksi serius, prolaps tali pusat plasenta terlepas, bahkan sampai pada kematian bayi.
Hal yang perlu dilakukan menghadapi kemungkinan ketuban pecah adalah memastikan apakah benar cairan tersebut sebagai cairan ketuban, sehingga bisa diantisipasi risiko komplikasi yang ditimbulkan pada janinnya dengan pemberian kortikosteroid. Bila usia kehamilan kurang dari 34 minggu, perlu obat penghilang kontraksi rahim dan pemberian antibiotika untuk menghindari infeksi rahim.
Seorang ibu perlu memahami keluhan keluar cairan dari kemaluan; apakah akibat keputihan atau akibat ketuban yang pecah, sehingga bisa cepat mencari pertolongan untuk penanganan. Tanda khas pecah  ketuban adalah keluar cairan secara tiba-tiba, terus berlanjut dan penderita merasa basah, tanpa mempunyai kemampuan untuk menghentikannya.
Pemeriksaan sederhana yang bisa dilakukan untuk menentukan apakah cairan tersebut berasal dari ketuban pecah atau bukan adalah dengan melihat langsung menggunakan bantuan speculum, alat untuk memeriksa mulut rahim. Bila mungkin, dapat juga diminta ibu hamil untuk batuk, yang berefek keluar cairan ketuban secara tiba-tiba dari mulut rahim.
Secara laboratorik, cairan ketuban tersebut bisa ditentukan dengan tes kertas nitrazin atau lebih dikenal dengan kertas lakmus. Warna kertas lakmus akan berubah menjadi biru bila cairan ketuban dan pemeriksaan dengan cara ini bisa dilakukan sendiri.
Komplikasi yang mungkin terjadi akibat ketuban pecah dini, antara lain;
1.      Bayi terlahir dalam satu minggu
2.      Sindroma gawat nafas bagi bayi
3.      Penekanan tali pusat
4.      Infeksi selaput ketuban
5.      Plasenta terlepas lebih awal
Penanganan yang dilakukan selama ini oleh para ahli dalam menghadapi kasus ketuban pecah dini adalah dengan memperlambat bayi lahir dan melakukan persiapan pematangan paru bayi jika kelahiran tak bisa dihindari. Umumnya, persalinan terjadi dalam seminggu, sedikit yang bisa bertahan sampai empat minggu. Jika dipertahankan terlalu lama, berisiko timbul infeksi terhadap bayi dan ibu, bahkan sampai menimbulkan kecacatan bagi bayi yang di kandungnya.
Salah satu faktor penyebab adalah akibat cairan ketuban berkurang atau kering, sehingga peran cairan ketuban sebagai tempat aktivitas gerak bayi tidak ada lagi. Akibatnya, badan bayi tetap dalam posisi kontraktur (terdesak) pada satu posisi.
Untuk kasus kehamilan di bawah 28 minggu dengan ketuban pecah sebelum waktu, setelah dilakukan persiapan pematangan paru disarankan dilahirkan saja. Ini untuk menghindari risiko komplikasi yang akan terjadi. Di negara maju, bayi dengan berat di bawah 1.000 gram atau di bawah 7 bulan kehamilan, dirawat dengan cara mengisi kembali cairan ketuban yang hilang tadi dengan cairan lain yang mirip. Pengisiannya setiap 24 jam, tergantung pada jumlah cairan yang tersisa, sampai bayi dianggap layak dilahirkan.
Antisipasi apa yang bisa dilakukan?
Mengingat begitu banyak risiko akibat ketuban pecah dini,  ada beberapa hal yang perlu diwaspadai kelompok ibu hamil, yakni:
1. Ibu hamil dengan gizi yang kurang baik,
2. Ibu hamil perokok,
3. Ibu dengan penyakit infeksi menular seksual,
4. Mempunyai riwayat pecah ketuban pada kehamilan sebelumnya dan adanya perdarahan pervaginam selama kehamilan.
Bagi kelompok tersebut di atas lakukanlah konsultasi ke dokter untuk mendapat nasihat dalam merawat kehamilan dan pengobatan bila ada infeksi penyakit menular seksual. Bagi seseorang yang mengalami ketuban pecah berulang akibat mulut rahim lemah, akan dilakukan penjahitan mulut rahim saat usia kehamilan 4-5 bulan dan jahitan tersebut akan dibuka jika waktu persalinan tiba.
Sebaiknya, bagi kelompok yang berisiko harus melakukan koreksi demi mencegah ketuban pecah awal. Bila gizi kurang harus ditingkatkan kalori yang dimakan setiap hari. Sedangkan bagi yang mempunyai riwayat mulut rahim lemah sebaiknya kurangi aktivitas yang berlebihan saat kehamilan memasuki usia 9 bulan, bila perlu mengambil cuti hamil sejak sebulan terakhir.
Dengan adanya upaya pengenalan faktor risiko ketuban pecah dini kita berharap bisa menekan kejadian bayi lahir secara prematur dengan harapan bisa menekan angka kesakitan dan kematian bayi.