Mohon tunggu...
Shalma Sakinah
Shalma Sakinah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Muhammadiyah Jakarta

Reading and watching

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pentingnya Pendidikan Anti Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Indonesia

19 Januari 2023   21:04 Diperbarui: 19 Januari 2023   21:25 1607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh : Shalma Sakinah (22080300010)

Mahasiswa Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta. 

Saat ini, angka kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan Indonesia sangatlah tinggi. Dilansir dari website Komnas Perempuan didapatkan bahwa pada bulan Januari s.d November 2022 telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.  Hal ini dikarenakan salah satunya masih minimnya pendidikan antikekerasan seksual di lingkungan pendidikan Indonesia. Minimnya pengetahuan akan kekerasan seksual tentu memperbesar potensi terjadinya kekerasan seksual. Seorang siswa mengatakan cantik kepada siswi lalu siswi tersebut merasa tidak nyaman tentu itu merupakan salah satu tindak pelecehan seksual. Akan tetapi, apakah siswa itu tahu bahwa tindakannya merupakan pelecehan seksual? Di situlah pendidikan antikekerasan seksual diperlukan agar murid  dapat mengetahui jenis-jenis tindakan kekerasan seksual, dalam kata lain dia tahu bahwa tindakannya salah. Pendidikan antikekerasan seksual juga sejalan dengan  Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28B ayat (2) yang berbunyi, "Setiap anak berhak atas kelangsungan, hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi." Oleh karena itu, sangat penting adanya pendidikan antikekerasan seksual di lingkungan pendidikan agar dapat menciptakan iklim pendidikan yang ramah bukan hanya bagi para murid, melainkan juga bagi para tenaga pendidik.

Berdasarkan UU TPKS Pasal 1, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang tubuh, seksualitas, dan/atau fungsi reproduksi seorang yang dilakukan secara paksa karena ketimpangan kuasa dan/atau relasi gender dan/atau sebab lainnya, perbuatan itu berakibat atau dapat berakibat penderitaan fisik, psikis, seksual, kerugian ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. Terdapat term yang menarik perhatian penulis pada pengertian kekerasan seksual dalam UU TPKS, yakni term "ketimpangan kuasa". Dalam dunia pendidikan tentu ada potensi ketimpangan kuasa. Ketimpangan kuasa dapat terjadi antara murid dengan pengajar bahkan sesama murid sekalipun. Sesama murid bisa dicontohkan dengan adanya adik kelas dan kakak kelas. Ketimpangan kuasa menjadi salah satu hal penyebab terjadinya kekerasan seksual. Seorang adik kelas akan menuruti perintah kakak kelas dengan alasan senioritas, kedisiplinan yang semu, dan rasa hormat yang menggila.  

Dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, juga dijelaskan apa itu kekerasan seksual beserta dengan bentuk-bentuknya. Bentuk-bentuk kekerasan seksual berdasar pada Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual pada Pasal 5 ayat (2) yang menurut penulis tidak diketahui oleh banyak orang dan dianggap menjadi suatu hal yang normal di antaranya adalah:  lelucon yang bernuansa seksual kepada korban, menatap korban dengan nuansa seksual, dan mengirimkan foto atau lelucon bernuansa seksual kepada korban meski korban sudah melarang. Ketiga hal yang penulis sebutkan tadi tampak menjadi suatu hal yang tampaknya normal dalam kehidupan di lingkungan pendidikan kita. Seorang murid laki-laki melemparkan lelucon seksual di depan perempuan yang membuat perempuan merasa tidak nyaman, lalu di grup WhatsApp seseorang mengirimkan stiker yang tidak senonoh, juga seorang laki-laki yang melihat dengan tajam ke bagian tubuh lawan jenisnya. Hal itu juga bisa terjadi atau dilakukan oleh perempuan. Tindakan itu tidak memandang gender, gender apa pun juga dapat melakukan pelecehan seksual atau mengalaminya sebagai korban. Hal tersebut juga tentunya dapat terjadi karena adanya ketimpangan kuasa, merasa bahwa salah satu gender lebih dominan sehingga bebas melakukan apa pun terhadap gender lain yang dikuasainya. Sumber-sumber yang penulis sajikan tadi sudah sangatlah tepat dan sesuai baik dari definisi maupun bentuk-bentuk kekerasan atau pelecehan seksual.

Belakangan ini kasus kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren menguak ke permukaan. Salah satu di antaranya yang paling menghebohkan adalah pemerkosaan terhadap tiga belas santriwati pondok pesantren di Bandung yang dilakukan oleh guru pesantren yang sekaligus adalah pemilik pesantren. Guru tersebut bernama Herry Wiryawan, di mana dalam kasus itu sembilan anak lahir akibat kekerasan seksual tersebut. Kejadian kekerasan seksual ini sudah terjadi sejak tahun 2016, tetapi baru terkuak pada tahun 2021. Penulis melihat adanya relasi kuasa atau ketimpangan kuasa antara guru dengan murid. Guru tersebut memanfaatkan relasi kuasanya untuk dapat menjalankan perilaku bejat terhadap muridnya. Guru tersebut tentunya akan menekankan rasa hormat, patuh, dan sopan kepada muridnya. Seorang murid akan dikatakan tidak sopan, membangkang, dan durhaka jika tidak menuruti segala perintah dari gurunya tersebut. Efek dari anak yang diperlakukan buruk oleh guru dapat sangat merugikan bagi orang tua murid tersebut.  Relasi kuasa yang terjadi bukan hanya kepada murid dia lakukan, melainkan juga kepada keluarga korban yang merasa takut akan posisi terhormat dari guru tersebut. 

Ketimpangan kekuasaan merupakan situasi di mana beberapa individu atau kelompok memiliki kontrol atau pengaruh yang lebih besar daripada yang lain sehingga dapat menyebabkan masalah seperti ketidakadilan, diskriminasi, dan kesenjangan sosial. Mereka yang dikontrol dan dipengaruhi atau yang mengalami ketimpangan kekuasaan sangat rentan untuk menjadi korban kekerasan seksual. Seorang guru bisa saja dengan mudah meminta muridnya melakukan sesuatu. Begitu juga dengan sesama murid, senior akan meminta juniornya untuk melakukan segala sesuatu dengan dalih disiplin, menghormati dan dalih lainnya demi memperkuat posisi senior tersebut. Kita tidak bisa menyanggah maraknya senioritas di lingkungan pendidikan Indonesia. Tradisi dan budaya senioritas hingga saat ini terus ada dan sulit untuk dihilangkan. Hal itu dibuktikan dengan adanya kasus pada masa orientasi studi di kampus. Banyak sekali kasus yang terkuak selama masa orientasi studi kampus tersebut akibat adanya ketimpangan kekuasaan. Kekerasan seksual pun dapat terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan. Hal itu juga dibuktikan dengan banyaknya kasus kekerasan seksual dosen terhadap mahasiswanya serta senior kepada juniornya. Ketimpangan kekuasaan tampaknya sangatlah melekat dengan budaya pendidikan di Indonesia, karena itu kita perlu mengatasi ketimpangan kekuasaan ini agar dapat terhindar dari adanya kekerasan seksual di lingkungan pendidikan Indonesia. 

Pendidikan antikekerasan seksual artinya, memberikan pendidikan baik kepada murid, pengajar, maupun warga akademik lainnya untuk mengetahui apa itu kekerasan seksual, apa saja bentuknya, bagaimana pencegahannya, dan bagaimana penanganannya jika terjadi kasus kekerasan seksual. Pendidikan antikekerasan seksual sangatlah diperlukan agar dapat menciptakan suasana pendidikan yang bersahabat bagi para warganya. Salah satu indikator suasana pendidikan yang bersahabat bagi para warganya adalah tidak adanya kekerasan atau pelecehan seksual yang terjadi. Pelecehan seksual dapat menyebabkan trauma yang panjang dan penderitaan yang menyakitkan apalagi jika korban tidak ditangani dengan baik. Salah satu contoh penanganan yang salah terhadap korban adalah dengan tidak mempercayai korban ketika korban melakukan pelaporan, selain itu korban juga disalahkan atau dinilai sebagai penyebab terjadinya pelecehan seksual seperti baju yang dianggap memancing hawa nafsu orang lain. Potensi korban bunuh diri sangatlah besar jika penanganan kasus kekerasan seksual dilakukan dengan tidak tepat dan tentu dapat menutup kemungkinan adanya pelaporan kekerasan seksual dari korban lainnya dengan pelaku yang sama karena merasa percuma melaporkan kekerasan seksual sebagai dampak tidak penanganan yang buruk terhadap kasus pelecehan seksual sebelumnya.

Hal ini dapat dilakukan melalui program pendidikan sekolah di antaranya adalah, mendirikan program pendidikan yang mencakup pelajaran tentang hak-hak seksual dan reproduksi seperti komunikasi konsensual, perkembangan seksual, serta perlindungan diri dari kekerasan seksual. Cara yang kedua yaitu pelatihan untuk guru dan staf yang ada di sekolah, seperti mengenali tanda-tanda kekerasan seksual, cara mengatasi masalah kekerasan seksual, serta cara memberikan dukungan bagi korban kekerasan seksual. Cara ketiga adalah kampanye sensibilisasi, seperti meningkatkan kesadaran akan pentingnya masalah kekerasan seksual dan cara mengatasinya. Cara keempat adalah pengembangan program dukungan, seperti menyediakan bimbingan konseling untuk siswa korban kekerasan seksual. Cara kelima yaitu mengintegrasikan pendidikan antikekerasan seksual dalam kurikulum pelajaran, seperti menerapkan kurikulum di dalam pelajaran sosiologi, sejarah, atau bahasa Indonesia. 

Selain melalui program pendidikan sekolah, hal tersebut dapat juga dilakukan dengan cara berkampanye dan berkomunikasi dengan tujuan meningkatkan kesadaran tentang masalah kekerasan seksual dan meningkatkan dukungan kepada korban. Pengajaran kepada anak tentang pendidikan seksual juga termasuk salah satu cara yang efektif, contohnya sedari kecil kita diberi tahu bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Pendidikan seks yang menyeluruh dan pendidikan inklusif dalam kurikulum sekolah dan di luar sekolah, yang membahas tentang kesetaraan gender, serta hak-hak reproduksi dan tata cara perlindungan dari kekerasan seksual juga termasuk cara yang efektif. 

Kasus kekerasan seksual yang meningkat belakangan ini terjadi di lingkungan pendidikan, sudah seharusnya membuat kita sadar betapa diperlukannya pendidikan antikekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Pendidikan antikekerasan seksual bukan hanya ditujukan kepada para pelajar, melainkan juga kepada para tenaga pendidik. Pendidikan antikekerasan seksual di tenaga pendidik akan memberikan dukungan yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini. Pendidikan antikekerasan seksual sangat penting karena dapat membantu mencegah tindakan kekerasan seksual serta memberikan dukungan bagi korban kekerasan seksual. Hal tersebut dapat mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman bagi para warganya. Sekolah atau kampus sudah seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk kegiatan akademik dan kegiatan lainnya. Sudah saatnya pendidikan antikekerasan seksual mulai dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Kurikulum tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang isu kekerasan seksual, serta memberikan keterampilan dan strategi untuk menghindari dan mengatasi situasi kekerasan seksual. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun