Mohon tunggu...
MUHAMMAD ARIS
MUHAMMAD ARIS Mohon Tunggu... Wiraswasta - Muhammad Aris

1. Unfrel (University Network for Free Election) Jambi 1999. 2. Wartawan Jambi Independent 1999-2008. 3. Komisioner KPU Kab. Batang Hari, Jambi 2008-2013. 4. Pengurus KONI Kab. Batang Hari 2010-2018. 5.Sekretaris Pokja Ketahanan Pangan Kab.Batang Hari 2011-2016. 6. Sekretaris DPD KNPI Kabupaten Batanghari 2013-2016. 7. Sekretaris Visi Politika Provinsi Jambi 2014-2019. 8. Sekretaris BPD Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan) Kab. Batang Hari 2014-2019 dan 2021-2026. 9. Pengurus Karang Taruna Kab. Batang Hari 2016-2021. 10. Tim Ahli DPRD Kab. Batang Hari, Jambi 2014- skrg. 11. Ketua Dewan Penasehat SMSI (Serikat Media Siber Indonesia) Kab. Batang Hari 2019-2024. 12. Pengurus JaDI (Jaringan Demokrasi Indonesia) Provinsi Jambi 2019-2024. 12. Koordinator Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDi) Kabupaten Batang Hari 2021-2026. 13. Advokat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Paslon Perlu Bercermin dari Pilkada Serentak 2015

23 Oktober 2016   21:32 Diperbarui: 23 Oktober 2016   22:59 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PENGALAMAN adalah ilmu yang sangat berharga. Pepatah ini adalah gambaran dari sebuah pengalaman yang terjadi hampir setahun yang lalu, pemilihan kepala daerah (Pilkada) jilid I yang digelar serentak di seluruh Indonesia pada 2015. Di Provinsi Jambi sendiri saat itu, dari 11 kabupaten/kota, ada lima daerah yang melaksanakan pilkada serentak adalah Kabupaten Batanghari, Bungo, Tanjung Jabung Barat (Tanjab Barat), Tanjung Jabung Timur (Tanjab Timur) dan Kota Sungai Penuh. Namun hanya tiga daerah yang berujung ke Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, yakni Batanghari, Bungo dan Sungai Penuh, sementara paslon yang kalah di Pilkada  Tanjab Barat dan Tanjab Timur menerima hasil keputusan KPU setempat.

Penulis mencoba mempelajari kenapa pilkada serentak jilid I di Jambi ditolak atau lebih tepatnya tidak dapat menerima semua gugatan paslon ditiga daerah itu untuk dapat disidangkan lebih lanjut oleh MK  sebagaimana tertuang Pasal 56 ayat 1 UU Nomor. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor. 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, berbunyi : “Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima,”.

Alasan pertama,MK masih diberi kewenangan untuk menyidangkan hasil perselisihan hasil pemilihan (PHP) untuk Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Waikota dan Wakil Walikota sebelum  pelaksananan pemungutan suara serentak secara nasional yang nantinya akan ditangani oleh suatu badan peradilan khusus, hal ini tertuang dalam pasal 157 ayat 3  UU Nomor. 8 Tahun 2015 berbunyi :“Perkara perselisihan penetapan     perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili    oleh    Mahkamah Konstitusi  sampai  dibentuknya badan peradilan khusus,”

Sebagaimana diketahui, bahwa pemungutan suara pemilihan kepala daerah serentak secara nasional baru akan dilaksanakan tahun 2027 sebagaimana disebutkan pada pasal 201 ayat 7 UU Nomor. 8 Tahun 2015 berbunyi: “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta  Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027,”

Alasan kedua, MK dalam memutuskan perselisihan hasil pemilihan (PHP) ini khususnya pada pilkada Bupati dan Wakil Bupati dan Walikota dan Wakil Walikota ini berpedoman kepada pasal 158 ayat 2 UU Nomor. 8 Tahun 2015 berbunyi:

Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota  dan     Wakil    Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan  penetapan       hasil   penghitungan  perolehan suara dengan ketentuan:

a. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk  sampai dengan     250.000      (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan  paling banyak  sebesar 2%   (dua   persen)   dari   penetapan   hasil   penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota;

b. Kabupaten/Kota  dengan jumlah penduduk sampai dengan      250.000      (dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan  500.000(lima ratus ribu)    jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan apabila   terdapat    perbedaan paling banyak  sebesar 1,5%(satu   koma   lima   persen)   dari   penetapan  hasil penghitungan perolehan suara oleh    KPU Kabupaten/Kota;

c. Kabupaten/Kota dengan jumlah    penduduk      sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu   juta)  jiwa,   pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika  terdapat   perbedaan paling banyak sebesar 1% (satupersen) dari penetapan   hasil   penghitungan   perolehan   suara   oleh KPU Kabupaten/Kota; dan

d.  Kabupaten/Kota   dengan   jumlah   penduduk   lebih   dari 1.000.000     (satu juta)  jiwa,   pengajuan  perselisihan perolehan     suara    dilakukan    jika  terdapat   perbedaan paling   banyak   sebesar   0,5%   (nol koma lima   persen) dari   penetapan   hasil   penghitungan   perolehan   suara oleh KPU Kabupaten/Kota.

Selanjut, selain pasal 158 UU Nomor. 8 Tahun 2015, MK juga menggunakan Peraturan MK No. 1 dan 5 Tahun 2015 khususnya dalam pedoman penghitungan persentase perselisihan suara antara pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun