Mohon tunggu...
Shafiyyah Tamala Yunfa
Shafiyyah Tamala Yunfa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Mahasiswi Hukum Pidana Islam di UIN Sunan Ampel Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Napak Tilas Srebrenica 1995: Konsep Responsibility to Protect dan Hukum Humaniter Internasional

30 November 2024   13:28 Diperbarui: 3 Desember 2024   18:44 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konsep responsibility to protect (selanjutnya disebut, R2P) adalah komitmen politik global yang bertujuan melindungi penduduk dunia yang paling rentan dari kejahatan internasional paling kejam seperti genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejatahatan terhadap kemanusiaan. Norma dalam R2P sendiri menetapkan bahwa negara memliki tanggung jawab untuk melindungi warganya dari kejahatan massal, komunitas internasional harus membantu mereka dalam melakukannya dan komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk menggunakan semua “cara diplomatik, kemanusiaan dan perdamaian lainnya” yang tepat untuk membantu melindungi populasi dari kejahatan tersebut dan jika sebuah negara secara nyata gagal melindungi dan cara damai tidak memadai maka komunitas internasional siap untuk mengambil tindakan kolektif melalui Dewan Keamanan PBB secara tepat waktu dan tegas. Tindakan kolektif merujuk pada aksi kerjasama antara negara-negara untuk mencapai tujuan bersama dalam menangani isu-isu global yang memerlukan respon bersama, seperti konflik bersenjata, pelanggaran hak asasi manusia atau ancaman terhadap kemanan internasional.

 

Pada tahun 2000, didepan Majelis Umum PBB, Koffi Annan meminta komunitas internasional untuk bersepakat pada sebuah basis tindakan kolektif guna melakukan tindakan intervensi terhadap kejahatan massal yang kejam, termasuk genosida, kehajahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis. Terdapat tiga tragedi kemanusiaan yang melatarbelakangi Koffi Annan meluncurkan seruannya tersebut, yakni: (1) peristiwa genosida di Rwaanda 1994 yang menewaskan hampir 1 juta orang; (2) pembantaian 8.000 warga sipil di Srebrenica pada 1995; dan (3) serangan udara NATO atas wilayah Kosovo 1999. Dalam kasus pertama, PBB tidak melakukan tindakan sama sekali; dalam kasus kedua, pasukan penjaga perdamaian PBB dari Belanda memiliki mandat yang terlalu lemah menururt Bab VI Piagam PBB; dan dalam kasus ketiga, NATO bertindak tanpa kewenangan dari Dewan Keamanan PBB. Dalam hal ini, penulis akan fokus membahas mengenai pembantaian terhadap 8000 warga sipil di Srebrenica pada tahun 1995 dengan analisis berdasarkan konsep Responsibility to Protect (R2P) dan dalam konteks hukum humaniter internasional

 

Tragedi pembantaian di Srebrenica ini dimulai ketika ketegangan etnis di Yugoslavia kembali menguat setelah kematian Josip Broz Tito di tahun 1980. Kemudian pada tahun 1991 Kroasia dan Slovenia memutuskan untuk merdeka karena mereka merasa orang-orang Serb menguasai pemerintahan Yugoslavia. Setelah Kroasia dan Slovenia memisahkan diri, disisi lain kelompok mayoritas katholik dan muslim di wilayah Bosnia dan Herzegovina tidak mau lagi menjadi bagian dari Yugoslavia. Sedangkan kelompok Serb yang ada di Bosnia menginginkan agar Bosnia dan Herzegovina tetap menjadi bagian dari Yugoslavia. Meskipun begitu, Bosnia dan Herzegovina tetap melakukan referendum kemerdekaan ditahun 1992. Keputusan yang akhirnya menjadi penyebab pembantaian Srebrenica karena keputusan Bosnia dan Herzegovina untuk merdeka dan lepas dari Yugoslavia ini dianggap sebagai pemberontakan oleh pemerintahan Yugoslavia. Keputusan ini juga menyebabkan ketegangan antar etnis kembali memuncak. Kemudian agar ketegangan mereda, kepala 3 etnis utama berkumpul diantaranya Alija Izetbegovic (Bosnia), Radovan Karadzic (Serb), Mate Boban (Kroasia) untuk melakukan upaya damai dengan adanya perundingan Sarajevo dilanjutkan perundingan Lissabon untuk menentukan pembagian wilayah tetapi tetap tidak dapat meredakan ketegangan yang ada. 

 

Setelah deklarasi kemerdekaan Bosnia-Herzegovina dan gagalnya kesepakatan Lissabon, kelompok-kelompok etnis yang berbeda mulai bersaing untuk kekuasaan dan wilayah. Serangan yang dilakukan oleh pasukan Croat Bosnia terhadap penduduk Serbia didesa Sijekovac, dekat Bosanski Brod mengakibatkan kematian 29 orang penduduk sipil Serbia dan beberapa kasus pemerkosaan. Pasukan Serb membalas dengan melakukan serangan ke Bijeljina yang kemudian banyak memakan korban etnis Bosniak. Dari sini perang Bosniak semakin berkembang dengan skala yang semakin besar. Kemudian ikut campur dari pemerintahan Yugoslavia yang pada saat itu telah dikuasai oleh orang-orang Serb mereka memberikan dukungan penuh kepada Army of Republika Srpska atau Vojska Republike Srpske disingkat dengan VRS. VRS adalah pasukan militer Serb yang ada di Bosnia. Kemudian pasukan gabungan VRS-Serbia mulai melakukan operasi militer. Kemudian pada tahun 1993, pemberantasan etnis ini terhambat dikarenakan PBB memutuskan untuk menjadikan Srebrenica sebagai zona demiliterisasi. Tetapi nyatanya tidak. Tentara infantri Belanda yang bertugas sebagai tentara PBB menjaga wilayah demiliterisasi, beberapa pasukan mundur dan tidak menembakkan perlawanan karena pasukan Serb sudah benar-benar all in.

 

Adanya statement bahwa pasukan penjaga perdamaian PBB dari Belanda memiliki mandat yang terlalu lemah menurut Bab VI Piagam PBB dikarenakan dalam bab ini lebih menekankan pada penyelesaian konflik secara damai dan pencegahan dari penegakkan hukum yang bersifat agresif. Hal ini membatasi UNPROFOR megambil tindakan militer yang diperlukan untuk melindungi warga sipil dan mencegah kekejaman. Mandat United Nations Protection Force (UNPROFOR) tidak mencakup penggunaan kekuatan militer secara agresif untuk melindungi penduduk sipil. Sebagai pasukan pemelihara perdamaian mereka diharuskan bersikap netral dan tidak terlibat dalam konflik bersenjata yang membuat mereka tidak dapat bertindak secara efektif ketika situasi memburuk. Keterbatasan ini menjadi jelas ketika pasukan Belanda terpaksa menyerahkan pengungsi Muslim Bosnia kepada pasukan Republik Serbia. Tindakan kolektif dalam konteks PBB seringkali dipengaruhi oleh dinamika politik internasional, dalam kasus Srebrenica, keputusan Dewan Keamanan PBB untuk tidak memberikan mandat yang lebih kuat kepada menangani konflik tersebut secara efektif. Hal ini menunjukan bahwa tindakan kolektif sering kali terhambat oleh kepentingan politik negara-negara anggota. Akibat dari keterbatasan mandat ialah pasukan perdamaian tidak dapat menghentikan serangan brutal terhadap masyarakat Muslim Bosnia. Pembantaian ini menjadi salah satu contoh kegagalan sistem pemeliharaan perdamaian PBB dan menimbulkan kritik terhadap efektivitas misi tersebut.

 

Pada tanggal 10 Juli 1995, sekitar 4000 pengungsi memadati pusat kota Srebrenica, melihat kondisi ini komandan pasukan Belanda meminta bantuan dari NATO, tetapi bantuan tersebut tertunda. Kemudian pada tanggal 11 Juli 1995, Ratko Mladic, komandan pasukan VRS sampai di Kota Srebrenica dan langsung mengklaim Srebrenica sebagai wilayah kekuasaan Republic Srpska. Pada tanggal 12 Juli 1995, terdapat banyak bus yang memasuki wilayah Srebrenica untuk mengangkut anak-anak, perempuan dan lansia yang akan dibawa keluar dari wilayah kekuasaan Serb. Sedangkan untuk laki-laki diatas 12 tahun mereka diburu oleh pasukan Serb dan diinterogasi atas tuduhan kejahatan perang. Aksi pembunuhan laki-laki Bosniak oleh pasukan Serb dimulai pada tanggal 12 malam. Puncaknya pada tanggal 13 Juli 1995, 3000-an pra Bosnia digiring ke lapangan yang terletak diutara kora Srebrenica didekat sungai Drina, berbatasan langsung dengan Serbia. Mereka digiring dengan mata tertutup dan tangan terikat. Sampai disana mereka dieksekusi dan ditembak sampai mati. Beberapa laporan juga menunjukkan pasukan Serb menggunakan senapan mesin dan granat untuk eksekusi, bahkan beberapa korban ditemukan dalam kondisi termutilasi. Menurut Holocaust Memorial Day Trust disebut sebenarnya ada 15000-an pria yang berhasil lolos dan mencoba keluar dari Srebrenica tetapi sayangnya pasukan Serb yang melacak posisi mereka berhasil menghadang mereka dan akhirnya hanya 3000an aja dari 15000 yang berhasil melarikan diri dan masuk wilayah Tuzla. Sisanya antara tewas karna serangan pasukan Serb atau tidak dapat bertahan waktu kabur. Disebut sekitar 72 jam setidaknya ada 8000-an laki-laki Bosniak yang menjadi korban pembantaian pasukan Serb. Selain pembantaian terdapat laporan bahwa selama penyerangan pasukan Serb juga melakukan kejahatan perang lainnya, seperti pengusiran paksa dan pelecehan. Bahkan jika diingat bus yang mengangkut anak-anak, wanita dan lansia banyak bus yang tidak sampai di wilayah amannya. Ada beberapa bus yang hilang dan tidak pernah terlihat lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun