Mohon tunggu...
Shafa CamiliaAzzahra
Shafa CamiliaAzzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Political Science

nothing impossible.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebijakan Kuota 30% Keterwakilan Perempuan di Parlemen: Apakah akan Tembus pada Pemilu 2024?

2 Desember 2021   13:44 Diperbarui: 2 Desember 2021   14:02 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagai Negara yang menganut sistem Demokrasi, Indonesia juga termasuk Negara yang menganut sistem patriarki, dimana laki-laki lebih mendominasi perempuan dan perempuan selalu dipandang sebagai orang kedua setelah laki-laki, dalam hal pembagian kerja, karena laki-laki yang selalu mengambil keputusan. 

Sebagai salah satu pelaku politik, perempuan tidak mendapat tempat yang berarti, bahkan termaginalkan. Diakui atau tidak, domain yang disediakan oleh fiqh politik, misalnya tentang lembaga-lembaga pemerintahan, seperti Imamah, perwakilan, kementerian dan sebagainya. Tampaknya lebih akrab dengan aktivitas laki-laki dibandingkan dengan aktivitas perempuan.

Di Indonesia juga sebenarnya gerakan perempuan sudah memiliki keterlibatan aktif di bidang politik namun masih terdapat kesenjangan dalam hal keterwakilan perempuan di struktur politik formal. Karena sebenarnya representasi politik perempuan cukup penting jika ingin menempatkan demokrasi yang ramah gender (gender democracy). 

Pasca diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, dapat dikatakan bahwa perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan hak khusus di bidang politik yang sifatnya sementara (affirmative action) telah tercapai. 

Sebab dengan kebijakan amandemen Undang-undang tersebut, perempuan dapat meningkatkan keterwakilannya dipolitik dalam representasi di parlemen sekurang-kurangnya 30 persen.

Tetapi, pada pemilu tahun 2019 implementasi kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen hanya mencapai 20,5% atau hanya 118 orang dari 575 orang yang terpilih sebagai anggota parlemen. Padahal pada saat pemilu tahun 2019, semua partai politik sudah memenuhi kuota 30% sebagai prasyarat untuk melaju dalam pemilu. 

Tetapi walaupun hanya 20,5% hal itu merupakan pencapaian tertinggi keterwakilan perempuan di parlemen di Indonesia. Karena data DPR menunjukkan, pada periode 1999-2004 dari 500 anggota DPR hanya ada 45 anggota perempuan atau 9%.

 Lalu pada periode 2004-2009 menjadi 61 perempuan dari 500 anggota DPR atau 11,09%. Sedangkan pada periode 2009-2014 menjadi 101 perempuan dari 560 orang atau 18,04%. Namun, terjadi sedikit penurunan pada periode 2014-2019, yakni 97 perempuan dari 560 orang atau 17,32%.

Apakah hal ini berarti penerapan kuota 30% tetap tidak membuat representasi perempuan di parlemen menembus representasi 30% padahal partai politik sudah mengikuti aturan kuota, dan mengapa hal ini dapat terjadi? Bagaimana implementasi dari kuota 30% ini dilaksanakan? 

Padahal masalah mengenai keterwakilan perempuan dan kuota 30% di parlemen ini menjadi sangat penting karena banyak kebijakan yang dinilai tidak pro terhadap perempuan seperti perumusan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tidak kunjung disah kan dan masih banyak lagi. 

Dengan tidak terpenuhinya kuota 30% ini dapat menyebabkan tidak adanya efek signifikan dalam keterwakilan perempuan untuk mencapai kesejahteraan perempuan di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun