Mohon tunggu...
Fatih Wajdi
Fatih Wajdi Mohon Tunggu... -

Terinspirasi dengan Muhammad al Fatih, pemuda 23 tahun yang memimpin pembebasan Konstantinopel.\r\nBekerja menyebarkan cinta untuk Indonesia yang harmoni.

Selanjutnya

Tutup

Politik

PKS Masih Lemah Pada Bab Ini

10 April 2013   08:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:26 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Faktor apakah yang menjadi sebab seorang SBY pada pilpres tahun 2004 dan 2009 dipilih sebagai presiden oleh mayoritas rakyat Indonesia? Tentu banyak faktor penyebabnya. Namun diantara berbagai faktor itu ada salah satu faktor penting yang tidak bisa dinafikan. Faktor itu bernama pencitraan.

Pencitraan itu hanyalah alat. Kosa kata yang senada dengan pencitraan diantaranya adalah marketing, selling skill, iklan. Ketika sebuah perusahaan mengiklankan kebaikan tentang produknya, bisa dikatakan perusahaan itu melakukan pencitraan. Berarti ketika sebuah partai politik melakukan pencitraan terhadap kadernya, tentu bisa juga dikatakan partai itu sedang melakukan marketing. Jika perusahaan ingin membukukan keuntungan yang tinggi, ikhtiar utama yang dilakukannya adalah dengan melakukan marketing terhadap produknya. Jika parpol ingin mencapai angka elektabilitas yang tinggi, salah satu ikhtiarnya adalah dengan melakukan marketing terhadap orangnya. Tidak ada yang salah dengan pencitraan di dunia politik. Apalagi yang dicitrakan itu memang keadaan yang sebenarnya.

Dan orang-orang PKS, masih lemah dalam bab pencitraan ini. Paling tidak ini menurut pengamatan saya yang masih awam. Mengapa pada pilkada DKI, masyarakat lebih banyak memilih Jokowi daripada HNW? Apakah Jokowi lebih baik dari HNW? Kan belum ada alat ukur objektif (apple to apple) yang membuktikan Jokowi lebih baik dari HNW. Jika ditanya pada kalangan internal (kader) PKS, mana yang lebih baik Jokowi atau HNW, pasti mereka menjawab HNW. Namun jika ditanya pada masyarakat DKI, kenyataannya mayoritas masyarakat DKI memilih Jokowi. Mengapa? Karena Jokowi sukses menggunakan leverage bernama pencitraan sehingga popularitas dan elektabilitasnya meningkat. Memang benar dan tidak bisa dipungkiri kalau Jokowi sebelumnya tercatat sebagai salah satu walikota yang sukses, namun fakta itu hanya akan menjadi sekedar catatan kalau seandainya Jokowi tidak mampu mengemasnya menjadi sebuah cerita menarik untuk dilemparkan ke masyarakat. Walhasil, Jokowi berhasil memenangi pilkada DKI.

Sekarang kita lihat survei-survei mengenai tingkat elektabilitas capres 2014, siapa kira-kira capres yang bercokol di posisi 1 dan 2? Apakah mereka berasal dari PKS? Ini juga bisa menjadi bahan renungan bagi PKS yang sudah eksis 15 tahun lebih lama dari misalnya Nasdem atau Gerindra. Kalau PKS ditakdirkan menjadi 3 besar di 2014 nanti, bagaimana dengan istilah “jatah singa”nya? “Jatah singa” itu hanya bisa didapatkan secara elegan jika orang-orangnya dicitrakan baik oleh masyarakat. Pada bab pencitraan ini, mungkin orang-orang PKS perlu belajar kepada SBY dan Jokowi.

Pencitraan diri berkaitan erat dengan kepercayaan diri. Bagaimana mungkin orang lain bisa percaya pada kita kalau kita sendiri tidak percaya pada diri sendiri? Dan hal ini juga salah satu bentuk keseriusan (all out) dalam berpolitik. Dalam hal pemasaran ide/gagasan, bisa dikatakan PKS the best lah. Tapi dalam hal pemasaran orangnya, PKS masih perlu bekerja keras. Alat ukur saya sederhana saja: seandainya saat ini dilaksanakan pilpres, dan kader terbaik PKS (sebut saja Anis Matta) ikut bertarung sebagai capres melawan kandidat-kandidat lain, kira-kira bisa menang tidak? Saya kira survei-survei yang ada bisa dijadikan bahan evaluasi.

Pencitraan diri, sedikit banyak juga berkaitan dengan sikap berfikir dan berjiwa besar. Pencitraan diri itu adalah upaya untuk membuat orang lain mempersepsikan diri kita sebagai orang besar. Kalau memang organisasi (ide, strategi, sistem) harus lebih besar dari orang-orangnya, maka bukan berarti orang-orangnya dibatasi atau membataskan dirinya sendiri untuk menjadi besar. Dalam alam bawah sadar tertanam doktrin “organisasi harus lebih besar dari orangnya” dan tanpa disadari, (mudah-mudahan saya salah) kebanyakan orang-orang PKS membatasi dirinya sendiri untuk menjadi besar dengan dalih: takut riya, takut ‘ujub, takut takabbur, takut sum’ah, takut ghuluw, takut mengkultuskan, takut jadi lebih besar dari organisasi, atau takut dianggap seperti itu. Apakah salah dengan doktrin itu? Tidak. Yang salah adalah membatasi diri untuk menjadi besar. Berusahalah untuk menjadi orang besar, namun pastikan organisasi (ide, strategi, sistem) itu lebih besar lagi. Pada akhirnya, yang perlu diubah itu adalah mindset kita. Dan persepsi itu bisa tertanam bukanlah hasil usaha dalam beberapa hari, perlu waktu. Dan penanaman persepsi itu perlu diikhtiarkan dari sekarang dengan upaya sadar bernama pencitraan.

Kurang lebih empat belas abad yang silam, ada sekumpulan orang-orang besar yang sampai sekarang nama mereka tetap tercatat dalam sejarah. Siapa yang tidak mengenal Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Khalid bin Walid, Salman Al-Farisi, Bilal, dan para sahabat lainnya? Seluruh dunia mengenalnya. Namun beranikah kita mengatakan diri mereka lebih besar dari misi yang mereka emban? Tidak. Justru misi besar merekalah yang membuat mereka menjadi orang-orang besar dalam sejarah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun