Kupikir, dulu aku benar-benar membenci jejakmu, yang selalu mengotori dinding dan berandaku. Berkacak pinggang, panas ubun-ubunku, kucoba kuredam dengan menarik nafas dalam, mengusap wajah berulang-ulang, dan mengepalkan tangan.
Lalu aku hanya duduk terpaku, memandangi jejakmu. Kucoba menghapus satu persatu. Dengan perasaan yang sulit kubahasakan. Aku tak tahu harus senang atau sedih setiap kali jejak yang kuhapus itu hilang. Lalu seperti orang sinting aku mencari-carinya lagi. Menggambar jejak baru di bekas jejakmu yang sudah hilang. Kemudian aku tersenyum. Aku menang. Jejak yang kugambar persis seperti jejakmu.
Berkali-kali, berulang-ulang, berputar-putar seperti jarum jam yang tak pernah protes pada angka. Kuhapus jejakmu, kugambar lagi, kuhapus jejakmu, kugambar lagi.
Kini setelah bulan berubah beberapakali, aku tahu, aku tak pernah benar-benar membenci jejakmu. Lalu kugambar jejak di atas jejakmu. Kau bikin jejak lagi. Kugambar lagi jejak di atas jejakmu. Kau bikin jejak lagi, kugambar jejak lagi di atas jejakmu. Berkali-kali, berulang kali. Berjejak-jejak banyak. Dan jejak-jejak itu memandangku. Tajam. Lalu tersenyum. Berubah warna, merah, kuning, hijau, ungu, biru. Aku mematung.