Mohon tunggu...
Sg Wibowo
Sg Wibowo Mohon Tunggu... -

seperti rumput teki...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pesan Cinta Kasih dari Kahyangan

6 November 2012   02:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:55 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto 1^: Pemandangan di Dlepih, Kahyangan

BAHASA cinta melampaui batas nalar manusia. Sang Maha Kuasa dengan alam pun memperlihatkan pada setiap manusia dengan cara yang lebih luar biasa. Saya mendapatkannya, tepat di depan mata saya. Hari itu, Minggu 28 Oktober 2012, di pelataran parkir Kahyangan, Dlepih, Tirtomoyo, Wonogiri. Walaupun tempat ini dekat dengan daerah asal saya, tetapi baru kali ini juga saya menapaki jejak petilasan Panembahan Senopati. Ini pun karena saya mengikuti acara Spiritual Odissey yang diadakan CV Lakutama. Pengalaman baru bagi saya.

Datang pagi hari dengan dua rombongan bus dan tiga kendaraan mini bus, kami disuguhi udara yang segar dan suara alam yang menenteramkan. Tentu saja, fokus saya lebih pada alam dan berbagai artefak peninggalan. Mulai dari tekstur alam yang berbatu hingga tempat-tempat yang konon merupakan tempat menyepi Panembahan Senopati. Perjalanan sampai ke telaga di puncak pegunungan Kahyangan. Saya mengagumi pesona alam disana.

13521664741009779524
13521664741009779524

Foto 2 ^: Pohon tua rindang menyejukkan

13521665321575355929
13521665321575355929

Foto 3 ^: Tulisan Jawa di salah satu Gua di Kahyangan

1352166678302573462
1352166678302573462

Foto 4 ^: Tulisan Jawa di salah satu prasasti di Kahyangan

13521667171525083848
13521667171525083848
Foto 5 ^: Telaga di puncak Kahyangan

Sampai di bawah, saya sibuk dengan upaya menghilangkan rasa haus dan lapar. Rupanya telah disediakan makanan khas desa berupa sayur lombok hijau, ikan goreng, telur dan tempe. Hidangan yang membangkitkan selera walaupun bagi lidah saya terasa begitu pedas. Herannya, saya tidak sakit perut seperti jika menyantap makanan pedas sebelumnya.

Di tengah-tengah saya menikmati makan itulah, pemandangan yang sampai sekarang saya ingat dengan jelas. Seorang laki-laki dewasa dengan seorang anak kecil. Dugaan saya laki-laki dewasa itu adalah bapak dari anak kecil itu. Mereka sesekali bercakap, berangkulan mesra, dan saling bicara dengan tatapan mata. Si Bapak tampaknya bercerita dengan serius pada anaknya. Lama pemandangan ini saya nikmati.

1352166933429660009
1352166933429660009
Foto 6 ^: Cinta kasih itu

Setelah dengan seksama saya amati, Bapak ini rupanya berkebutuhan khusus. Ya, Bapak itu tuna daksa. Bahkan dalam kategori fisik, Bapak ini tuna daksa ganda. Tentu saja, pertama kali yang saya rasakan adalah perasaan trenyuh. Perasaan empati. Sampai pulang saya masih ragu apakah saya akan memberi sedikit kelebihan rejeki saya. Tapi niat itu sampai saya pergi meninggalkan pelataran parkir Kahyangan itu tidak terlaksana. Saya ragu apakah Bapak itu tidak akan tersinggung jika saya berbagi rejeki padanya. Baru setelah rombongan mulai beranjak pergi, semakin jelas bahwa Bapak itu bekerja sebagai tukang parkir.

13521669681818807788
13521669681818807788
Foto 7 ^: Cinta kasih itu dengan kerja keras

13521674881938684662
13521674881938684662
Foto 8^: Hidup tanpa usaha itu bohong

Ah, bahkan yang mempunyai ‘kelebihan’ seperti Bapak itu saja mau bekerja keras. Tentunya yang lebih menggedor hati saya adalah rasa cinta kasih yang bisa mewujud ke dalam berbagai hal-hal sederhana di depan mata kita. Wujud yang begitu tulus tanpa kepura-puraan. Pesan yang sempurna pada saya. Pesan yang musti disebarluaskan pada seluruh makhluk hidup di alam semesta. Rahayu. []

sumber gambar: dok. pribadi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun