Mohon tunggu...
Patrix W
Patrix W Mohon Tunggu... Penulis - just an ordinary man

If God is for us who can be against us? (Rome 8:31)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pesan Machiavelli bagi Para Politisi

1 Oktober 2014   14:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:49 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam arti tertentu, politik bisa diartikan sebagai seni mempengaruhi, memperoleh atau merebut, dan mempertahankan kekuasaan terhadap sekelompok orang. Politik karenanya merupakan sebuah keniscayaan yang sudah ada sejak manusia ada dan berelasi membentuk relasi kekuasaan terhadap sesamanya. Di jaman modern sekarang ini, kekuasaan sering kita terjemahkan sebagai jabatan, dan sekelompok orang pada umumnya adalah rakyat atau warga negara. Seseorang dikatakan sebagai politisi handal, apabila ia dapat mempengaruhi sebanyak-banyaknya orang. Politisi handal selalu mempunyai orientasi untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan .

Untuk menjadi politisi handal, tentu tidak serta merta menceburkan diri dalam dunia politik tanpa sebuah strategi untuk memenangkan dan merebut, dan mempertahankan hati rakyat. Setengah abad lalu, pemikir besar Italia, Niccolo Machiavelli, sudah memberikan rambu-rambu untuk menjadi penguasa atau politisi handal. Para diktator dan tiran dunia biasanya dapat mempertahankan kekuasaan mereka dalam jangka waktu lama, karena secara cermat mengikuti rambu-rambu Machiavelli. Pemikiran tersebut dituangkannya dalam buku berjudul “Il Principe” (The Prince, Sang Penguasa), yang merupakan hadiah bagi keluarga Medici, penguasa Florence pada masa itu. Il Principe, saya kira, cukup wajar untuk disebut sebagai kitab suci-nya para penguasa dan politisi sejati.

Il Principe bukanlah sebuah buku yang berisi gagasan ideal dan utopis Machiavelli tentang dunia politik, sebagaimana Politea-nya Plato. Belajar dari sejarah pada masanya dan masa sebelumnya, Il Principe berisi panduan praktis dan apa adanya tentang bagaimana seorang penguasa dapat mempertahankan kekuasaannya. Machiavelli berpendapat, ada jarang amat besar antara apa yang kita bayangkan seharusnya dilakukan, dengan apa yang pada kenyataannya harus kita lakukan. Kegagalan dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan adalah karena orang lebih sering membayangkan, terpesona, atau bertindak menurut idealisme politiknya, daripada bertindak praktis seturut tuntutan situasi.

Tesis dasar yang hendak disampaikan dalam Il Principe, adalah bahwa dalam dunia politik, segala cara dapat digunakan untuk mencapai tujuan (tujuan menghalalkan cara). Stabilitas dapat tercipta, bila ada kekuasaan yang kuat. Dan kekuasaan dapat bertahan, bila penguasa mampu menggunakan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaannya, terutama dengan menciptakan cinta dan rasa takut pada warga negaranya. Penguasa ideal adalah penguasa yang dapat mempertemukan kedua sifat dasar ini, namun dalam kenyataan, dua sifat ini sangat sulit dipertemukan. Dan apabila harus memilih, maka lebih baik menjadi penguasa yang ditakuti daripada dicintai (since love and fear can hardly exist together, if we must choose between them, is safer to be feared than loved). Penguasa yang dicintai akan lebih rentan terhadap bahaya, daripada penguasa yang ditakuti. Manusia, demi mengejar kepentingannya, lebih mudah memutuskan ikatan cinta dan membahayakan penguasanya, daripada membahayakan penguasa sambil membayangkan kekerasan atau kengerian hukuman yang bakal didapatnya. Rasa takut akan timbul apabila penguasa dapat bertindak keras, jahat, dan bahkan kejam.

Selain melalui memerintah dengan tangan besi, kelicikan juga amat penting. Machievelli tidak secara langsung menggunakan kata membunuh, atau membinasakan, tetapi melenyapkan (eliminate). Ancaman bisa dilenyapkan dengan cara halus, tidak kentara, dan membuai. Musuh seolah dijebak ke dalam perangkap, dan tidak tahu bahwa ia sedang diincar bahaya. Penguasa juga harus dapat menjadi penipu ulung. Ia tidak perlu selalu menepati janji-janji bagi rakyat, bila memiliki alasan kuat dan dapat diterima. Jika tidak memiliki dasar kuat, maka penguasa mesti bisa menunjukkan bahwa ia (seolah) telah menepati janji-janji tersebut.

Perlu digarisbawahi juga, bahwa menimbulkan ketakutan tidak sama dengan menimbulkan kebencian. Justru, seorang penguasa harus berusaha agar ia tidak dibenci rakyatnya. Sebab, kebencian rakyat terhadap penguasanya hanya akan memuluskan lahirnya persekongkolan rahasia dan coup d’étatterhadap kepemimpinan yang legitim. Kebencian rakyat merupakan awal bagi hancurnya sebuah kekuasaan. Kebencian rakyat dapat dihindari, apabila penguasa tidak bertindak sewenang-wenang atau tanpa dasar. Kekerasan dan kekejaman harus mempunyai dasar yang kokoh, sehingga dapat dipahami rakyat bahwa dengan demikian stabilitas negara dapat dipertahankan.

Dari pemikiran dasar tersebut, terkesan bahwa Machiavelli mengabaikan moralitas dalam politik. Kekerasan, kekejaman, pembohongan publik, kelicikan atau tipu daya, dan penciptaan rasa takut seolah menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk bisa bertahan dalam dunia politik dan kekuasaan. Dalam politik, moralitas ditempatkan hanya sebagai alat dan berada di bawah kaki kepentingan atau keperluan (necessity) untuk mempertahankan kekuasaan. Penguasa, berdasarkan analisis situasi, selalu dapat dibenarkan untuk bertindak, baik secara bermoral ataupun tidak bermoral, demi mempertahankan kekuasaan dan stabilitas negara. Penguasa tidak boleh terikat pada aturan-aturan moral, bukan karena paham relativisme moral misalnya, tetapi karena situasi menuntut demikian. Atau, dalam kata-kata Machiavelli sendiri, penguasa tidak perlu bertindak secara terhormat dalam setiap langkahnya, sebab pasti ia akan kecewa karena berada di antara begitu banyak orang yang tidak berjiwa ksatria. Karena itu, kalau seorang penguasa ingin mempertahankan pemerintahannya, ia harus belajar bertindak secara tidak ksatria, dan memanfaatkannya atau tidak memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan.

Penilaian moral terhadap cara-cara mempertahankan kekuasaan, dengan demikian, merupakan sesuatu yang tidak relevan, sebab menekankan pada satu hal akan mengganggu hal lain. Moralitas dan politik bermain dalam dunia berbeda, keduanya tidak bisa menjadi pegangan satu sama lain. Politik dan kekuasaan selalu berkaitan dan tidak bisa terlepas dari cara-cara mempertahankan kekuasaan. Menekankan moralitas, bukan saja mengingkari hakikat politik, tetapi juga akan mengancam kekuasaan dan stabilitas. Dan bagi Machiavelli, stabilitas negara adalah tujuan tertinggi, dan lebih penting daripada sekedar mengikuti kaidah atau aturan moral.

Membaca “Sang Penguasa”, setidaknya memberikan pemahaman tindak-tanduk para politisi dan penguasa. Setiap orang boleh tidak setuju, bahkan mengecam Machiavelli, tetapi setidaknya kita bisa menemukan banyak fakta lapangan sebagaimana yang dibeberkannya. Atau, paling tidak mata kita bisa sedikit terbuka bahwa mereka yang terjun dalam dunia politik dan berhasil mempertahankan kekuasaannya tidak bisa tidak mengikuti satu atau beberapa anjuran dasar Machiavelli. Penguasa yang terlalu jujur atau bermoral biasanya tidak akan bertahan lama. Kalau kita mengatakan bahwa politik itu kotor, memang demikianlah semestinya politik itu menurut Machiavelli. Kalau boleh saya simpulkan: “kebaikan dalam politik adalah menjadi politisi kotor”.

Saya ingin sedikit mengaitkan dengankonteks negara kita. Yang umum terjadi, kita menemukan begitu banyak kelicikan dan pembohongan oleh para politisi kita, yang dimainkan berulang-ulang, entah itu itu mempertahankan kekuasaan dan jabatan politis, merebut kursi di dewan, atau sekedar membela kepentingan fraksi/partai.Mengikuti anjuran Machiavelli, kita tidak bisa secara hitam putih menilai tindakan para politisi tersebut dengan ukuran moral. Saya juga tidak hendak membuat penilaian moral lebih lanjut atas sikap para politisi dan penguasa di negeri ini.

Berbeda dari anjuran Machiavelli, para politisi kita kelihatan sudah terang-terangan membohongi dan mengingkari kehendak rakyat banyak. Saya sendiri tidak tahu apakah ini merupakan bagian dari grand design kelicikan politisi kita, ataukah sekedar tindakan membabibuta. Namun, kalau sekedar tindakan membabi buta, yang berpatokan pada emosi daripada logika politik, maka peringatan Machiavelli ini hendaknya diingat baik-baik: bahwa penguasa dan politisi yang bertindak tanpa alasan dan dasar yang kokoh, dan yang terang-terangan membohongi rakyatnya, hanya akan memunculkan kebencian. Dan kebencian rakyat, menurut Machiaevelli, merupakan ancaman terbesar bagi langgengnya sebuah kekuasaan. Kita lihat saja, apakah para politisi kita betul-betul politisi handal, atau politisi untung-untungan, yang nasib ‘kekuasaan-nya’ ke depan akan juga untung-untungan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun