Mohon tunggu...
SeverinoLH
SeverinoLH Mohon Tunggu... Freelancer - Active Talker

Digital Media Strategy

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Upaya Defensif dengan Menampilkan Citra Diri yang Palsu di Media Sosial

6 Mei 2021   16:23 Diperbarui: 6 Mei 2021   16:35 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: www.freepik.com/jcomp

Menjadi fake di media sosial, banyak dari kita barangkali pernah melakukannya. Atau mungkin masih ada yang fake di media sosial. 

Rasanya fake di media sosial bukan lagi menjadi hal yang aneh. Fake di sini bukan mengarah pada konotasi kriminal, tapi dalam memperlihatkan citra diri. Untuk suatu tujuan, diri yang palsu diperlihatkan ke media sosial. 

Apakah fake di media sosial itu negatif? Bagi saya itu tidaklah negatif. Dari sudut pandang saya secara personal, pencitraan palsu di media sosial merupakan langkah defensif. Kok bisa? Tenang, akan saya ungkapkan mengapa saya berpikiran seperti itu. 

Media sosial menjadi platform bagi seseorang untuk difungsikan sebagai curriculum vitae (cv). Sadar atau tidak, terselip tujuan dari rangkaian dan sketsa yang ditampilkan melalui media sosial tersebut. Salah satunya adalah strategi defensif. 

Ambil contoh ada seseorang yang di dunia nyata adalah individu yang arogan, berperilaku buruk, dan nakal. Di media sosial ia bisa menampilkan dirinya sebagai seseorang yang dermawan, suka berbagi, suka memberi kata-kata mutiara. 

Contoh lainnya, ada seseorang yang di sering menjadi sasaran perundungan di lingkungan sekolah atau di dalam keluarganya. Citra yang ditampilkannya di media sosial, memperlihatkan dirinya dengan riasan wajah yang garang, tegas, serta sering memposting swafoto dengan senyum yang sinis. 

Kedua contoh pencitraan diri yang oposisi di media sosial di atas adalah bentuk defensif. Kasus pertama, ia hendak membangun citra yang baik dari orang yang bukan berada dari lingkungan dunia nyatanya. Sehingga bila sewaktu-waktu ia bertemu dengan jaringan pertemanannya di dunia nyata, sentimen negatif tidak langsung menyerangnya. Ia mencegah bertambahnya lingkaran pembenci terhadap dirinya. 

Untuk kasus yang kedua, citra diri yang garang perlu untuk ia tunjukkan di media sosialnya. Hal ini agar cukup orang-orang di lingkungan dunia nyatanya saja yang tahu dirinya rapuh dan sasaran empuk perundungan. Di luar lingkungan tersebut ia akan dipandang sebagai seseorang yang berkepribadian tangguh dan keras, dan orang-orang akan enggan untuk bermasalah dengannya. 

Meski kekuatan defensifnya bersifat temporari, upaya defensif dari kedua contoh di atas mereka perlukan. Tidak ada jaminan rapuhnya diri, atau arogannya diri tertutup terus bagi lingkaran pertemanan di media sosial. Entah kapan atau dari mana jati diri terkuak, itu yang hendak mereka tunda. 

Saya berikan satu contoh defensif ini, berkenaan dengan ekonomi. Beberapa kali kita melihat orang-orang yang panjat sosial. Ada yang di media sosial suka mengatai orang lain dan pamer kemewahan. Ada pula yang menyinggung orang lain. Hal itu gunanya untuk menarik atensi publik. Dengan mata publik melirik ke arah mereka, maka mereka akan viral. Dengan viral mereka akan dilirik oleh banyak iklan atau endorse. Seperti salah satu selebriti yang meng-cover lagu tulang-belulang yang nadanya mirip dengan lagu gerimis dapat undangan. 

Dari pengakuannya, ia sengaja banyak mencari masalah dengan selebriti-selebriti lain agar dia viral. Dengan demikian ia akan dilirik lagi oleh sejumlah program. Tujuannya untuk mendapatkan kerjaan, agar ia ada penghasilan untuk menghidupi keluarganya. Tentu sudah banyak kita melihat kasus-kasus sejenis ini. 

Loh, di mana letak defensifnya? Cermati! Ia sebelumnya adalah seorang selebriti yang mengisi banyak program, namun karirnya di dunia hiburan meredup. Ia mencoba untuk bersinar kembali agar tidak menjadi bintang yang mati oleh waktu. Mempertahankan eksistensinya, itu merupakan bentuk defensif juga. 

Maka tak perlu kita semena-mena menghujat orang lain. Kita bahkan tidak tahu ada apa dibalik citra yang ditampilkannya di media sosial tersebut. Menghujat seorang gadis nakal yang sebenarnya memiliki mental yang rapuh, kita telah menjadi sama dengan mereka yang merundungnya di dunia nyata. Tak bisa memberikan komentar positif atau kritik yang membangun beserta saran? Lantas untuk apa presensi di kolom komentar? Swipe up aja lah, bungs!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun