Mohon tunggu...
SeverinoLH
SeverinoLH Mohon Tunggu... Freelancer - Active Talker

Digital Media Strategy

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Gosip, Selentik Ngeri pada Lidah

1 Mei 2021   16:26 Diperbarui: 1 Mei 2021   16:30 1789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Freepik.com (drobotdean)

Memang lidah tak bertulang, karenanya lentur ia bergerak. Tapi kalau geraknya tak dikendalikan, maka lidah bisa menjadi pisau bermata dua. Siapa yang akan terluka? Bisa si empunya lidah, atau subjek yang disinggung si lidah, atau bahkan keduanya.

Dalam ilmu sosiologi, "gosip" merupakan salah satu bentuk/cara pengendalian sosial. Kok bisa? Tentu saja bisa. Tidak hanya cara preventif dan koersif saja, tapi ada bentuk pengendalian sosial dengan kekuatan lemesnya lidah dan bibir, itulah gosip.

Meski merupakan salah satu bentuk pengendalian sosial, tidak semua yang dikendalikan dengan gosip memiliki manfaat yang baik.

Hal yang membuat gosip menjadi metode pengendalian sosial yang berbahaya adalah penyimpangan informasi. Bukannya fakta yang tersebar, tapi malah hoax. Mungkin berawal dari fakta, tapi yang namanya manusia "titip duit akan berkurang, titip omongan bakal bertambah".

Berkenaan dengan gosip, saya pernah berada di posisi korban dari gosip yang berisi fakta-fakta yang menyimpang. Berikut prolog singkatnya:

Bermula dari keadaan kamar kos saya yang tengah berantakan oleh buku-buku dan kertas modul belajar yang berantakan di lantai. Seorang penghuni kos lain yang merupakan anak yang berasal dari daerah yang sama dengan saya menceritakan hal itu kepada kedua orang tuanya. Kami saling mengenal (saya rasa!).

Entah bagaimana ia menceritakan perihal kamar saya yang tengah berantakan tersebut kepada orang tuanya. Ketika ada acara arisan komunitas, yang mana keluarga saya dan keluarga sebrang itu adalah anggota dari arisan tersebut, kedua orang tuanya menceritakan perihal berantakannya kamar saya kepada anggota arisan yang lain yang. Arisan tersebut terdiri atas puluhan kepala keluarga.

Menceritakan hal tersebut, tapi jatuhnya menjelek-jelekan saya di situ. Padahal ada kedua orang tua saya juga yang berada di situ. Adu mulut antar orang tua pun tak terelakan. Banyak anggota arisan yang lain membela dan menenangkan kedua orang tua saya. Harap maklum, si orang tua mulut lames ini memang terkenal mulut beracun.

Kejadian itu diceritakan oleh ibu saya kepada saya melalui panggilan telepon. Saya merasa kaget dan sakit hati atas peristiwa yang terjadi itu. Saya merasa kesal dengan si anak bermulut lames ini yang menceritakan saya entah dengan versi seperti apa kepada orang tuanya. Dan yang paling membuat saya kesal adalah kedua orang tua saya yang direndahkan di acara arisan tersebut.

Saya lantas menjelaskan kepada ibu saya bahwa memang benar kamar saya sempat berantakan beberapa waktu yang lalu oleh buku-buku dan tumpukan kertas yang berserakan di lantai kamar. Dan itu karena saya tengah mengerjakan banyak tugas, projek, dan tengah berada di masa UTS. Karena tugas, projek dan UTS telah usai, tentu sudah saya rapikan kembali kamar saya dari buku-buku dan kertas yang berserakan di lantai tersebut.

Saya memang punya kebiasaan ketika tengah mengerjakan tugas, projek, atau di masa ujian, lantai kamar saya pasti akan dipenuhi buku dan kertas yang berserakan. Dan saya rapikan setelah masa ujian selesai. Saya kemudian mengambil foto kamar saya dari beberapa sudut untuk menunjukkannya kepada ibu saya sebagai bukti bahwa kamar saya berantakan itu benar, tapi tidak seperti versi yang diceritakan oleh si anak bermulut lames ini.

Begitulah cerita singkat pengalaman saya yang pernah menjadi korban gosip dari fakta-fakta yang ditambah-tambahi dan dipelintir kebenaran menyeluruhnya. Sampai-sampai kamar saya dibilang seperti tempat sampah. Lalu, perpustakaan, ruang arsip pengadilan, meja kerja detektif dan jaksa yang penuh dengan kertas dan buku yang bertebaran mau disebut sampah juga? Lebih lucu lagi ketika saya yang dijelek-jelekan oleh si anak bermulut lames ini saya bantu dia dalam pengerjaan tugas-tugas kuliahnya. 

Bahkan saya membantu memecahkan masalah untuk pengerjaan tugas-tugasnya. Bukan sok pintar, tapi apakah wajar kita menjelek-jelekan orang yang sering membantu kita. Bila menjelek-jelekan saya sesuai dengan fakta betapa jeleknya diri saya, saya masih bisa menerima. Tapi dengan penyimpangan informasi tersebut, apakah baik? Saya terbelalak dengan hal itu.

Gosip itu hal sederhana yang lumrah kita dengar atau bahkan lakukan. Meski demikian, gosip itu sangat berbahaya. Akan ada informasi yang hilang. Akan ada informasi yang tidak ada dibuat menjadi ada. Ada informasi yang lurus jadi zig-zag.

Dari kejadian itu, saya memutuskan untuk memutuskan hubungan pertemanan saya dengan si anak bermulut lames ini secara pelan-pelan, sampai akhirnya total tak berkabar hingga saat ini. Tentu keputusan saya bukan hanya karena kejadian tunggal itu saja. Sejak dulu memang saya sering dibuat harus bersabar dengan anak satu itu. Bagaimana tabiat buruknya coba saya hadapi dengan sabar. Tapi saya harus peduli dengan keadaan saya juga. Saya mau membersihkan diri saya dari lingkungan yang toxic.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun