Mohon tunggu...
Seto Wicaksono
Seto Wicaksono Mohon Tunggu... Human Resources - Recruiter

Menulis, katarsis. | Bisa disapa melalui akun Twitter dan Instagram @setowicaksono.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Dua Sisi Pamer Gaji di Media Sosial: Ada yang Termotivasi, Tidak Sedikit yang Keki

22 Februari 2021   22:30 Diperbarui: 23 Februari 2021   19:21 2799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pamer gaji (Sumber: Thinkstockphotos via KOMPAS.com)

Disadari atau tidak, akhir-akhir ini cukup banyak orang yang dengan mudahnya memamerkan gaji atau pendapatan mereka di internet secara gamblang dan serampangan. Wadahnya beragam.

Bisa melalui media sosial, audio-video singkat, dan yang terbaru, melalui media sosial yang punya kesan eksklusif bagi sebagian orang: Clubhouse.

Melalui media apa pun, rasa-rasanya pamer gaji atau pendapatan kepada khalayak secara gamblang selalu menimbulkan dua sisi yang berlawanan.

Sisi yang satu merasa sepakat dan tidak ada masalah sama sekali. Bahkan, konon, bisa memberi motivasi melalui proses yang diceritakan. Bagaimana merintis karier atau wirausaha dari awal.

Di sisi yang lain, sebagian orang kurang sepakat dengan pemikiran tersebut. Lantaran bikin orang lain insecure, nggak pede, dan jadi minder dalam waktu bersamaan.

Hal ini selalu menjadi persoalan klasik di ranah sosial sekaligus ruang lingkup profesional. Efek laten yang mesti diwaspadai adalah, timbul rasa cemburu antara pekerja satu dengan lainnya. Sehingga iri-irian soal pendapatan pun sulit dihindari.

"Ah, gue kerja berangkat pagi, pulang malam, gaji masih segini-segini aja. Dia kerja segitu doang, gajinya malah lebih besar dibanding gue."

"Dia kerjanya cuma gitu doang, tapi gajinya kok gede banget? Gue yang udah banting tulang, berangkat dan pulang kerja nggak ketemu matahari, gajinya masih stuck. Jalan di tempat!"

Dan seterusnya, dan seterusnya.

Keluhan sebangsa itu sudah cukup familiar bagi saya, mungkin juga sebagian diantara kalian.

Alhasil, hal tersebut hanya menciptakan ilusi bagi diri sendiri, rasa tidak bersyukur akan pencapaian diri juga proses yang dilalui, dan acuh tak acuh dengan kerja keras yang orang lain lakukan.

Sebab, pada akhirnya yang mengendap di pikiran sebagian orang hanya satu: terlalu berfokus hasil dan sesuatu yang terlihat saat ini, tanpa mengetahui apa yang sudah terjadi sebelumnya.

Lantas, apa yang setidaknya bisa dilakukan oleh diri sendiri?

Mengingat, kita atau siapa pun, sulit mengontrol orang lain untuk menceritakan berapa gaji, pendapatan, atau penghasilannya.

Lagipula, itu kan hak mereka masing-masing. Siapa juga elo, elo, dan elo, melarang seseorang bercerita tentang seberapa besar pendapatan mereka. Selama tidak melanggar peraturan yang sah, tentunya.

Di ranah perkantoran, sudah cukup jelas bahwa, gaji atau benefit yang didapatkan oleh seorang karyawan termasuk privasi. Sebaiknya tidak dicari tahu secara sengaja. Apalagi sampai memaksa. Kalaupun tidak sengaja mengetahui, baiknya cukup tahu sama tahu saja.

Hal tersebut juga bisa diaplikasikan oleh kota di ranah media sosial. Jika mengetahui besaran pendapatan seseorang, nggak perlu kagetan. Apalagi sampai memandang diri sendiri tidak berdaya dan menjadi tidak menghargai proses yang sudah dilewati. Jangan sampai seperti itu. Pokoknya, jangan.

Tentu saja, kita semua menjalani proses masing-masing. Daripada membandingkan pencapaian diri dengan apa yang orang lain dapatkan, lebih baik membandingkan diri sendiri di masa sekarang dengan waktu sebelumnya.

Sederhana saja. Sekecil apa pun pencapaian yang sudah diraih, tetap wajib diberi apresiasi. Jangan sampai hanya karena orang lain mendapatkan sesuatu melebihi apa yang kita punya, lantas, kita malah memberi punishment kepada diri sendiri.

Di sisi lain, jika kalian termotivasi dengan gaji yang orang lain dapatkan, apa pun pekerjaannya, akan lebih baik jika dilampiaskan dengan cara yang sebaik-baiknya.

Tidak perlu terburu-buru. Terpenting, tetap fokus pada tujuan. Paling tidak pikirkan juga bahwa, kita semua menjalani proses yang berbeda-beda. Kita semua, berhak bahagia dan memberi apresiasi terhadap segala sesuatu yang sudah berhasil dilalui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun