Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ada Apa dengan Mural?

30 Agustus 2021   13:19 Diperbarui: 30 Agustus 2021   14:24 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.gettyimages.com

Latar belakang ini terlihat dalam kebijakan vaksinasi Covid-19, misalnya. Terlepas dari kritik luas bahwa ada unsur "pemaksaan", mekanisme represif semacam itu diperlukan untuk mencapai tujuan vaksinasi.

Masalahnya adalah, seperti yang ditunjukkan oleh Nonet dan Selznick, keadaan darurat seperti sekarang ini sangat rentan untuk dimanipulasi oleh otoritas menjadi menindas. Ini bukan teknik pemaksaan yang dirancang untuk memajukan kebaikan yang lebih besar (kebaikan bersama), melainkan akibat ketidakmampuan kekuasaan untuk mempertahankan kesetiaan rakyat dan memenuhi kebutuhan masyarakat.

Situasi ini disebut sebagai "kemiskinan kekuasaan" atau "kekuasaan yang buruk" secara spesifik. Keadaan ini ditandai dengan hilangnya kepercayaan publik dan perselisihan internal di dalam tubuh kekuasaan.

Berbagai lembaga survei menunjukkan penurunan kepercayaan rakyat. Sebagai contoh, Lembaga Survei Indonesia (LSI) melaporkan pada bulan Juli bahwa kepercayaan terhadap Presiden telah menurun dari 56,5 persen menjadi 43%.

Dari sisi pertikaian internal, kubu Presiden Jokowi tampaknya juga mulai mencari proyeksi baru untuk mengantisipasi kapal yang akan segera berlabuh.

Kembali ke argumen Nonet dan Selznick, represi akan muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan kekuasaan untuk memenuhi harapan masyarakat. Oleh karena itu, bukankah mural yang dihapus itu kritik terhadap situasi epidemi?

Sebuah mural di Pasuruan mengatakan, "Dipaksa Sehat di Negeri Sakit". Sementara itu, sebuah mural di Tangerang bertuliskan "Tuhan, Aku Lapar" dan "Jokowi 404: Not Found." Bagaimanapun por-kontra yang mencuat, mural-mural ini menggambarkan keadaan ekonomi saat ini. Kebijakan PPKM Darurat ini sangat merugikan masyarakat menengah ke bawah, terutama yang menggantungkan hidup pada pendapatan sehari-hari.

Selain itu, banyak pihak mempertanyakan mengapa Undang-Undang Karantina Kesehatan tidak digunakan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada tuduhan bahwa undang-undang tersebut tidak diterapkan untuk membebaskan negara dari kewajibannya untuk "memberi makan" kepada rakyat.

Bisa dibayangkan bahwa perkiraan itu salah, tetapi itu tidak relevan. Argumennya adalah bahwa ada kecurigaan luas terhadap otoritas. Ini, tentu saja, berasal dari ketidakpuasan terhap penanganan pandemi.

Jika kemiskinan kekuasaan terjadi dan otoritas mulai menindas, ini mungkin menjelaskan mengapa otoritas menggunakan undang-undang yang tidak efektif untuk melacak seniman lukisan "Jokowi 404: Not Found".

Banalitas Kejahatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun