Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mereset Mindset tentang Prestasi

21 Juli 2020   09:40 Diperbarui: 22 Juli 2020   14:45 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen Pribadi

Sebuah prestasi bagi anak seringkali dimaknai sebagai pencapaian juara, atau hanya sebatas prestasi akademik lainnya. Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh paradigma yang dimiliki oleh orang tua sendiri.

Padahal sebuah prestasi tidak sekadar soal penghargaan, dapat nilai bagus, dapat ranking 1 pada diri anak.

Dampak dari paradigma tersebut adalah tidak terarahnya bakat anak pada potensi apa yang seharusnya ditekuni anak kelak. Anak seringkali dilatih untuk segala bisa dan harus segala juara.

Misalnya saja dalam olahraga, anak-anak diwajibkan harus mengikuti semua olahraga; sepak bola, basket, voli, hingga bulu tangkis. Makanya, anak Indonesia jangan ditanya jika olahraga apa yang disukai dan bisa diikuti, segalanya pasti mayoritas bisa.

Termasuk dalam dunia akademik atau pembelajaran di sekolah, setiap anak diwajibkan harus bisa menguasai belasan mata pelajaran, dan diharuskan berhasil dengan nilai yang bagus.

Mereka harus bisa mata pelajaran A, menguasai juga B, dan C, hingga seterusnya. Akibatnya, anak bahkan kebingungan ketika ditanya pelajaran apa yang paling dikuasai dan senang untuk dipelajari.

Padahal jika berbicara prestasi sifatnya sangat luas, tidak hanya bermodalkan skill, bermodalkan soft-skill juga bisa dimaknai sebagai prestasi. Sejatinya prestasi adalah sebuah pencapaian, mulai dari hal kecil hingga hal besar, dan ditentukan perspektif masing-masing. Bukan ditentukan oleh orang lain.

Mentang-mentang anak-anak lain pamer-pamer di sosmed, pamer penghargaan, pamer kesuksesan bisa jalan-jalan ke sebuah tempat terkenal, sedangkan anak kita hanya diam saja di rumah. Hanya bisa belajar dan tidak ada aktivitas yang lain. Kemudian bilang, kapan kamu bisa kayak si dia? Kenapa kamu tidak berprestasi, tidak sukses, dan bisa seperti si dia? Saya rasa itu tidak elok!

Getirnya, perspektif tersebut seringkali melanda orang tua, memandang anak kita tidak berprestasi, tidak pintar, tidak hebat, dan membandingkannya dengan anak lain yang berprestasi secara akademik.

Padahal, selayaknya orang tua juga lebih bijak. Memandang perubahan karakter dari yang dulunya susah belajar, tidak terbiasa belajar, jadi rajin belajar, dari yang dulunya malas membantu orangtua, berubah menjadi rajin, dari yang dulunya tidak terbiasa ibadah, sekarang sudah taat beribadah, dan contoh lainnya adalah prestasi. Dulu anak tidak terbiasa bicara depan umum, sekarang terbiasa bicara di depan umum, juga sebuah prestasi juga.

Jadi, bagi kita, serta orang tua sudah seharusnya merubah perspektif prestasi/berprestasi terhadap anak. Termasuk jangan melihat apa kata orang, tapi apa kata sendiri. Apa kata lingkungan sekitar kita, keluarga kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun