Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menguak Penyebab Pelecehan Seksual di Indonesia

13 Juli 2020   08:38 Diperbarui: 13 Juli 2020   09:30 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: wcax.com

Tadi sekilas telah dibahas bagian dari masifnya pornografi yang dipertontonkan di TV. Adanya media lain, yakni medsos, film, dan website memperluas penyebaran konten pornografi dan pornoaksi. Buktinya, masih banyak akses terhadap konten-konten pornografi dan berdampak pada kembali meluasnya kekerasan seksual. Apalagi bagi yang sudah kecanduan, mereka selalu mencari objek baru sebagai pelampiasan.

Misalnya, sebuah buku yang ditulis oleh Farhandhika Mursyid, yang berjudul Ketika di Dalam Penjara: Cerita dan Fakta tentang Kecanduan Pornografi (2017). Salah satu isinya adalah bagaimana seseorang yang sudah sangat kecanduan pornografi akan melakukan berbagai cara untuk melampiaskan nafsunya, baik secara mandiri maupun mencari objek lainnya. Termasuk melakukan kekerasan seksual.

Dan masih banyak faktor lainnya sesuai sudut pandang keilmuan lainnya, yang bisa dignakan untuk menganalisis penyebab kekerasan seksual.

UU PKS Solusi Tepat?

Jika melihat fakta bahwa tinginya angka kasus pelecehan/kekerasan seksual, adanya patriarkis, liberalisasi pakaian, liberalisasi media, dan pornografi, maka jelas diperlukan payung hukum yang mampu menyelesaikan problem tersebut.

Meski demikian, adanya sebuah undang-undang juga tidak dapat menjadi tameng kuat jika tidak dibarengi dengan peran kultur hukum yang positif, serta penegak hukum yang adil.

Inilah yang menjadi kunci dari analisa sosiologi hukum, dimana suatu hukum akan ajeg di masyarakat apabila dilandasi oleh kekuatan kultur sadar hukum yang tinggi. Alhasil, jika masih ditemukan budaya kebebasan berpakaian yang tanpa batas, tanpa norma, atau budaya pornografi yang menjulang di media, sulit rasanya mendambakan hukum yang ajeg.

Begitupun penegak hukum itu sendiri, jika masih bisa disuap atau selalu bermain kepentingan pribadi, alangkah sulit kita merasakan hukum yang adil. Apakah kasus Baiq Nuril itu sudah benar-benar berkeadilan? Rasanya tidak.

Yang lebih kuat bahkan intrik politik dibalik polemik UU ini; buktinya sampai sekarang belum jelas bagaimana kelanjutan RUU ini. Minimnya suara perempuan sebagai representasi kepentingan perempuan di parlemen yang hanya 30% juga ditengarai menjadi penyebabnya.

Belum lagi mis-konsepsi dan mis-persepsi esensi yang berbeda tafsiran seperti ditunggangi LGBT, dan pro zina juga turut mengkontroversi RUU ini dan berujung penolakan. Hal inilah yang justru memunculkan statement bahwa RUU ini sulit dibahas oleh anggota DPR? Sesulit itukah? Sungguh heran!

Yang kencang juga perihal minimnya 'anggaran' atau 'uang' yang bisa dijadikan proyek kepentingan anggota DPR sendiri. Apakah karena RUU ini sedikit uang, jadi ditunda kembali?

Menarik ditunggu kelanjutannya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun