Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Potret Guru Honorer Daerah Terpencil Saat Pandemi: Naik Turun Bukit demi Keadilan Belajar

3 Mei 2020   13:56 Diperbarui: 3 Mei 2020   14:02 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pembelajaran langsung di rumah

Potret pendidikan Indonesia memang masih mengkhawatirkan, terutama pelbagai permasalahan pendidikan karena tidak meratanya fasilitas penunjang maupun tenaga pengajar. Namun, terdapat secerca harapan terutama apa yang dibawa oleh para tenaga pengajar yang biasa kita sebut guru. 

Mereka dapat digolongkan istimewa karena mempunyai semangat pendidik yang luar biasa. Mereka pula layak memperoleh titel "pahlawan tanda jasa" yang dengan gigih memperjuangkan pendidikan Indonesia di berbagai situasi dan kondisi bahkan tanpa imbalan yang setimpal.

Potret kesejahteraan guru di wilayah terpencil merupakan sekelumit problem pendidikan saat ini. Kesejahteraan yang dimaksud bukan hanya mengenai upah yang mereka terima yang hanya tiga bulan sekali dan itupun tidak seberapa. Jauh dari itu, mereka harus berjuang melawan keterbatasan pendidikan lain, seperti internet, kondisi jalan yang tidak memadai hingga bangunan yang tidak layak huni.

Khusus di kondisi pandemi seperti sekarang, perjuangan mereka semakin berlipat lagi. Bagaimana pun pembelajaran harus tetap dilanjutkan mengikut peraturan pemerintah yang mengharuskan pembelajaran dilaksanakan di rumah. 

Namun apalah daya, fasilitas internet hingga ketiadaan ponsel pintar menyebabkan mereka harus putar otak agar anak-anak didiknya bisa sama merasakan belajar di tengah pandemi. Terbersitlah ide agar mereka sendiri yang bergerak menyampaikan pembelajaan ke rumah-rumah orang tua murid secara langsung. Perlahan-lahan ide tersebut disetujui kepala sekolah dan sepakat untuk dilaksanakan meski tanpa imbalan lebih atau sekedar ongkos jalan.

Begitulah kira-kira cerita yang dialami oleh keempat guru honerer di salah satu sekolah dasar negeri di ujung kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Keempat guru yang hanya diberikan inisial tersebut adalah DR, DH, ES, dan TM. Masing-masing merupakan guru kelas 1, kelas, 3, kelas 5, dan guru pendidikan agama Islam. Setiap hari kerja mereka harus berkeliling ke rumah-rumah memberikan pelajaran kepada setiap murid dengan bermodalkan semangat mencerdaskan bangsa.

Kondisi wilayah yang terpencil ditambah ketiadaan fasilitas internet dan kemiskinan memungkinkan mereka mau tidak mau untuk memberikan pengajaran secara langsung, jauh dari kesan belajar online di daerah sedikit kota atau agak kota. Tidak ada orang tua yang punya ponsel pintar, bahkan jauh dari kesan mengerti terhadap hal itu. Ditambah, kondisi daerah yang ada di wilayah perbukitan khas desa-desa di Jawa Barat menambah tugas mereka.  

Ya, hal ini berimbas pada kondisi jalan yang mereka lalui, turunan hingga tanjakan curam harus mereka taklukkan hanya dengan jalan kaki, tidak dengan sepeda motor karena sangat berbahaya jika harus harus melalui jalanan licin nan tanah merah itu. Padahal jika diperhatikan, wilayah ini sedang mengalami transformasi besar karena sedang dibangun PLTA besar yang digadang-gadang ketiga terbesar di Asia Tenggara. Ironisnya, mega proyek tersebut hanya berdampak pada aspek jalan besar untuk kelancaran mobilitas kendaraan proyek, tidak bagi jalanan kecil penunjang mobilitas warga desa.

Kembali kepada aktivitas mengajar para guru honorer. Entah apa yang dipikirkan mereka, sepintas tentu mereka ingin kesejahteraan, minimal imbalan setimpal yang mereka terima yang tidak lain hanya untuk keperluan ongkos jalan. Penting untuk dipertanyakan adalah, jika bayaran 1 juta lima ratus ribu selama tiga bulan tidak layak ketika mengajar di kelas, lantas berapa harusnya bayaran yang harus mereka terima ketika harus mengajar ke rumah-rumah? Alih-alih harus menjawab pertanyaan, mereka hanya termangung dengan rasa tanggung jawab yang harus mereka emban dengan mengajar.

"Kita tentu ingin minimal ada ongkos lah buat biaya "jalan kaki" sebagai pengganti bensin, tapi ya tidak ada, bayarannya tetap gaji kita yang tiga bulan sekali itu. Mau tidak mau begitu karena ya kita harus tetap mengajar".

Begitulah petikan obrolan DR kepada penulis saat ditemui di rumahnya di sela-sela hari libur. Lebih jauh, mereka juga mempertanyakan efektivitas sistem belajar ini. Bagi mereka, belajar di kelas saja dengan anak-anak zaman sekarang yang sering membandel, sulit dikasih tau, hingga minim motivasi belajar sudah merepotkan bagaimana dengan belajar seperti ini. Kehadiran orang tua yang seringkali menjadi penghalang untuk totalitas mengajar menjadi kendala, bagaimana pun rasa malu, atau rasa tidak enak itu seringkali hadir jika harus mengajar di depan anaknya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun