Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilema Mudik di Tengah Pandemi Covid-19

15 April 2020   23:08 Diperbarui: 15 April 2020   23:16 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu esensi mudik bagi masyarakat Indonesia adalah momentum hari besar umat Islam yakni hari raya Idul Fitri setelah ibadah Ramadhan. Disana terdapat makna 'kemenangan' yang selayaknya dirayakan bersama keluarga besar di kampung halaman. Momentum ini jelas digunakan untuk berbagi kebahagiaan, sembari berkumpul, bersilaturahim, dan saling memaafkan satu sama lain. Tidak heran jika mudik merupakan tradisi masyarakat Indonesia yang di dalamnya terdapat aspek agama, sosial, dan budaya.

Fungsi integratif agama sebagai lembaga yang menyatukan umat dijelaskan sosiolog Emile Durkheim dalam karyanya yang fenomenal The Elementary Forms of The Religious Life. Bagi Durkheim agama menyatukan sesama kelompok yang ia sebut 'umat' sebagai pembangkit perasaan sosial, dimana terdapat simbol dan ritual-ritual masyarakat yang di ekspresikan untuk tetap terikat dengan komunitasnya. Artinya, selama agama masih menjalankan fungsinya, agama akan tetap diikuti pengikutnya karena selalu berada dalam posisi yang benar, dan memberikan perlindungan jiwa masyarakat.

Begitupun dalam memahami mudik di Indonesia. Mudik adalah sarana penguatan dan penyatuan masyarakat Muslim Indonesia sebagai umat beragama. Melalui mudik dan Idul Fitri, keutuhan keluarga kembali terjalin, persaudaraan kembali dieratkan, dan segala konflik mereda karena kelahiran konsensus yang alamiah. Muslim kembali pada fitrah sebagai manusia yang mencintai saudaranya berkat perjuangan ibadah bersama di bulan Suci. Keutuhan pun kembali terbentuk dan fungsi integratif agama kembali terkuatkan.

Selain itu, mudik juga tetap dilakukan di era digital dan informasi. Justru kemudahan era digital memudahkan masyarakat memesan tiket, memantau jalur kemacetan, dan media pendukung lainnya. Padahal, era digital memudahkan komunikasi face to face melalui media daring untuk sekadar silaturahmi. Meski adanya faktor kualitas internet yang tidak merata di pedesaan, yang pasti kesakralan pada tradisi mudik tetap dilakukan meski kemudahan zaman semakin berkembang.

Pandemi Hentikan Niat Mudik?

Menyoal risiko besarnya penularan Covid-19 akibat mudik, banyak pihak yang mendukung mudik tidak dilakukan tahun ini. Sontak hal ini menjadi dilema besar masyarakat Indonesia. Disatu sisi, mudik sebuah tradisi wajib, di sisi lain mudik akan menimbulkan potensi penularan Covid-19.

Dalam hal ini pemerintah justru tidak mengeluarkan kebijakan melarang masyarakat mudik, asalkan mematuhi protokol kesehatan penanggulangan Covid-19. Hal berbeda justru diusulkan Muhammadiyah yang meminta pemerintah tegas melarang mudik. Senada hal tersebut, NU juga menghimbau masyarakat untuk tidak mudik tahun ini.

Meski demikian, alasan Presiden Jokowi melarang mudik patut diperhatikan yakni keterpaksaan karena alasan ekonomi pasca PSBB, dan tradisi. Pemerintah menginginkan warga yang terdampak ekonomi karena Covid-19 sebaiknya pulang kampung, dan sebagai tradisi mudik harus tetap dijaga di Indonesia.

Ini dibuktikan bahwa meski himbauan banyak disuarakan, namun banyak masyarakat yang diam-diam sudah mudik ke kampung halaman setelah pandemi terjadi. Bahkan, Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono menyebut 900 ribu orang telah mudik dari Jabodetabek selama pandemi berlangsung. Sementara masih ada 1,3 juta orang lainnya yang diperkirakan akan segera menyusul.

Hal ini tampaknya tidak menurunkan niat masyarakat untuk mudik meskipun ditengah kekhawatiran akibat Covid-19. Mudik sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Indonesia yang butuh proses lama untuk menghentikannya. Oleh karena itu, jika pemerintah melarang mudik maka PR-nya semakin bertambah, begitupun jika tidak melarang mudik risiko besar juga harus diantisipasi dengan tepat.

Apa yang diprediksi Gumilar R. Somantri mengenai akankah fenomena mudik di masa depan hilang harus direnungkan lebih dalam, dimana efisiensi kehidupan yang harus dilakukan, termasuk kemungkinan mudik sebagai gaya hidup di cuti kerja, serta pengembangan jaringan ekonomi kota-desa yang menguntungkan. Artinya, mudik selalu memberikan sisi positif dan negatif yang akan tetap menghiasi kehidupan masyarakat Indonesia kedepan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun