Mohon tunggu...
Setiyo Bardono
Setiyo Bardono Mohon Tunggu... Staf Kurang Ahli

SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Staf kurang ahli di Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (MAPIPTEK). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012), dan Rempah Rindu Soto Ibu (Taresia, 2024). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mengenang Almarhum Mbah Legirin dan TV Kecamatan yang Warnai Masa Kecil

14 Mei 2025   18:42 Diperbarui: 14 Mei 2025   18:52 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Televisi hitam putih (Sumber: Pixabay.com/Pexels)

Innalillahi Wa Innailaihi Roji'un. Kabar duka tersiar melalui Grup Whatsapp (WA) teman-teman sekampung halaman dari Desa Dlangu, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Mbah Legirin, berpulang ke Rahmatullah pada hari ini, 14 Mei 2025 pukul 09.00 WIB dalam usia 81 tahun.

Ucapan duka dan doa semoga almarhum husnul khotimah mengalir membanjiri Group WA. Seketika saya terkenang sosok Mbah Legirin yang pernah mewarnai masa kecil. Saya mencoba mengais ingatan. Dalam ingatan saya yang rapuh, sosok Mbah Legirin lekat dengan keberadaan televisi di kantor Kecamatan Butuh.

Rumah Mbah Legirin tak jauh dari rumah orang tua saya di Desa Dlangu. Ia bekerja sebagai pegawai di Kantor Kecamatan Butuh, yang berada di seberang jalan raya yang membelah Desa Dlangu, kurang lebih 200 meter dari rumah orang tua saya.

Sekitar tahun 80an, saat saya berumur 5 atau 6 tahun, ada televisi hitam putih di halaman kantor kecamatan. Saya lupa ukurannya, mungkin 14 inchi atau lebih. Televisi itu dimasukkan ke dalam semacam kotak yang disangga besi. Mirip kandang burung dara.

Sepertinya televisi kecamatan tersebut bagian dari program TV Masuk Desa yang dicanangkan pemerintah saat itu. Kalau tidak salah, saat itu listrik belum masuk wilayah Desa Dlangu sehingga sumber daya televisi berasal dari accu atau aki.

Pada sore hari, biasanya saya dan teman-teman sepermainan suka menonton film kartun. Saya agak lupa judul film kartunnya, kalau tidak salah Donald Bebek, Flash Gordon, Voltron, dan lain-lain. Kadang kami juga menonton siaran berita. Saat itu, saluran televisi satu-satunya adalah TVRI.

Juru kunci atau penjaga dari televisi kecamatan adalah Mbah Legirin. Ia yang bertugas menyalakan dan mematikan televisi. Kalau televisi belum menyala, kami berusaha mencari keberadaan Mbah Legirin di kantor kecamatan bahkan di rumahnya. Dengan baik dan sabar, Mbah Legirin akan memenuhi keinginan kami.

Saat malam minggu, biasanya banyak warga yang menonton televisi. Mereka menggelar tikar di halaman kecamatan. Kalau tidak salah, setiap malam minggu ada tayangan ketoprak yang menjadi tontonan favorit warga. Karena banyak warga yang menonton televisi sampai ada yang berjualan makanan.

Saat itu televisi merupakan salah satu barang canggih dan mewah yang menjadi hiburan bagi warga. Hiburan lainnya jika ada layar tancap atau pasar malam di lapangan kecamatan yang disponsori produsen jamu.

Seiring waktu, jaringan listrik memasuki Desa Dlangu. Penerangan tak lagi mengandalkan lampu teplok minyak tanah atau lampu strong king. Satu persatu warga mulai memiliki pesawat televisi. Saya dan teman-teman lain sempat nebeng nonton televisi di rumah tetangga. Rasanya lebih nyaman karena ada di dalam rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun