Mohon tunggu...
setan berpikir
setan berpikir Mohon Tunggu... -

Pernah selamat dari tenggelam di Pantai Kuta, Bali karena sebuah buku bekas seharga lima ribu rupiah yang dibeli di Pasar Blauran, Surabaya...dan buku itu bukan tentang berenang. Itu sebabnya aku yakin hidup ini pada dasarnya adalah menyambungkan titik-titik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Rendah Hati bukan Anekdot?

4 Desember 2015   01:02 Diperbarui: 4 Desember 2015   01:17 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salah satu kisah tentang kerendahatian terhadap pujian di kalangan sahabat yang paling saya ingat adalah tentang Abdullah bin Umar, putra khalifah Umar bin Khattab. Abdullah bin Umar akan melemparkan tanah ke mulut orang yang memujinya. Ini rasanya sebuah cerita yang saya baca waktu usia belasan dulu di salah satu buku Khalid Muhammad Khalid, tapi entah yang mana. Khalid Muhammad Khalid menurut saya masih penulis sisi etika Islam yang paling mumpuni. Dia tidak menceramahi, dia hanya mengumpulkan sedemikian banyak kisah-kisah akhlak dalam Islam, dan menulisnya ulang dengan prosa yang indah.

Tetapi belakangan saya menemukan sebuah cerita tentang kerendahatian yang berbeda. Sebuah cerita tentang kerendahatian yang biografis, bukan anekdotal.

Suatu ketika ada seseorang yang tidak mau dicemburui, di-iri-i. Dia orang yang sangat kreatif dan menjadi profesor di sebuah universitas paling prestisius di dunia. Semua rekannya di luar universitas ini iri pada posisinya. Dia tidak bisa diirii seperti ini. Jadi dilepaskannya posisi itu dengan sengaja dan memilih mengajar di sebuah universitas kelas kaki lima. Tetapi kreativitasnya tak berubah dan dia tetap mempublikasikan karyanya. Setiap orang iri pada kualitas karyanya sekaligus kerendahatiannya karena tidak mencari posisi yang lebih prestisius.

Sejak itu dia mempublikasi karyanya secara anonim. Tapi ini dengan mudah diketahui orang; karena tidak ada yang menulis seperti dia menulis! Jadi dia kemudian memutuskan untuk tetap menulis tetapi tidak akan lagi mempublikasikan karyanya selama dia hidup. Dia akan mengatur agar semua karyanya dipublikasi setelah dia mati. Kalau orang kemudian iri, terserahlah, toh dia sudah mati, pikirnya.

Demikianlah tahun-tahun berlalu, dan dia tidak mempublikasikan apapun. Dia dipecat. Universitas kelas kaki lima bilang, “Anda tahu bahwa kami ingin profesor-profesor kami mempublikasikan sesuatu; kami mau mereka mengerjakan sesuatu.” Ketika dia mengingatkan tentang publikasinya dahulu, mereka menjawab, “Oke, tapi apa yang anda kerjakan untuk kami belakangan ini?” Sebenarnya, dia tidak terlalu keberatan dipecat; karena cocok dengan jalan hidupnya saat ini. Jadi diambilnya tabungannya [yang cukup besar karena dia selama ini selalu hidup sangat sederhana], kemudian pensiun ke daerah pedesaan, di mana dia menemukan sebuah tempat yang sangat indah, dan dengan tangannya sendiri kemudian membangun sebuah rumah kecil tetapi sangat menarik.

Tempat yang dia pilih adalah tempat yang paling indah dalam jarak berkilo-kilo meter di sekitarnya. Siapa saja yang melewatinya iri. Keirian ini tidak bisa ditanggungnya. Jadi dijualnya seluruh barang duniawinya dan memberikan semuanya tanpa sisa kepada orang tak punya. Kemudian dia mulai hidup sebagai seorang musafir miskin. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia tidak lagi dicemburui. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia benar-benar bahagia. Sampai suatu hari bertahun-tahun kemudian dia bertemu dengan seorang teman lama dari universitas paling prestisius di dunia dulu. Setelah mereka makan siang dan berbincang, koleganya bilang, “Betapa jelas nampak kebahagiaan anda; Ya Tuhan, iri saya melihat anda.”

Kisah di atas ditulis oleh Raymond Smullyan dalam bukunya "This Book Needs No Tittle". Smullyan bukan seorang agamawan atau motivator, dia seorang tukang sulap profesional yang kebetulan juga Profesor Matematika dan Filsafat di Indiana University, waktu buku ini diterbitkan. Bukunya juga bukan tentang etika atau “golden ways”, melainkan sekumpulan paradoks dalam kehidupan sehari-hari. Paradoks dalam hal ini dapat dimaknai sebagai, dengan meminjam pengertian Martin Gardner seorang penulis legendaris teka-teki matematik di majalah Scientific American, sebagai “sesuatu yang diyakini benar tetapi sebenarnya salah atau sesuatu yang diyakini salah padahal sesungguhnya benar.”

Cerita Smullyan di atas menunjukkan bahwa ingin menjadi seseorang yang rendah hati tidak [selalu] membuat bahagia. Atau kalau anda ingin rendah hati terhadap manusia, anda justru harus menjauhi manusia. Atau keinginan untuk rendah hati itu justru bukan sebuah bentuk kerendahatian. Ini paradoksnya, dan mungkin bisa ditambah lagi.

Manakah yang benar dan harus dipilih di antara paradoks-paradoks tersebut. Saya pikir pertanyaan ini akan terus bertahan sepanjang hidup. Yang jelas belajar tentang Kebenaran dengan menariknya keluar dari Paradoks jauh lebih sulit [dan karenanya lebih bernilai] dibanding belajar Kebenaran dalam bentuk yang sudah dipaketkan. Menarik Kebenaran dari Paradoks berarti bersedia menunda akal sehat dan intuisi, karena kita harus berpikir ulang tentang apa yang selama ini kita pahami dan percayai. Seperti tentang bagaimana menjadi rendah hati dalam cerita Smullyan ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun