Sekolah inklusi adalah sekolah tempat siswa regular belajar bersama dengan siswa ABK. Pada sekolah inklusi, ada banyak komponen di dalamnya yang dapat menunjang kemajuan dari sekolah inklusi diantaranya adalah siswa ABK, siswa regular, para guru, dan komunitas sekolah. Komponen-komponen ini menjalin suatu hubungan sosial dan interaksi antara satu sama lain. Di dalam interaksi tersebut, terdapat interaksi sosial positif dan negatif. Interaksi sosial positif ditandai dengan adanya pertemanan, kerjasama dan empati yang tinggi antar siswa. Interaksi sosial negatif ditandai dengan munculnya sebuah konflik karena adanya perbedaan pendapat maupun perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing anak.
Salah satu interaksi positif yang harus di hidupkan dalam sekolah inklusi adalah membangun empati antara anak reguler dan anak berkebutuhan khusus yang merupakan suatu kebutuhan di sekolah inklusi. Hal tersebut dikarenakan empati pada sekolah inklusif dapat meminimalisir adanya interaksi sosial negatif antar siswa regular dan ABK. Empati didefinisikan sebagai perasaan memahami orang lain, ikut serta dalam perasaan emosional orang lain, dan dapat menempatkan diri sendiri ketika berada di posisi orang tersebut tanpa membuat seseorang kehilangan identitas dirinya. Terbentuknya respon ini di sekolah inklusi membuat siswareguler mampu menerima dan memahami secara kognitif dan afektif terhadap kondisi siswa ABK atau sebaliknya. Sehingga siswa regular yang tidak mampu berempati kepada siswa ABK menyebabkan salah menafsirkan perasaan sehingga mati rasa atau tumpulnya perasaan yang berakibat rusaknya hubungan bahkan dapat membuat siswa menjadi terasingkan
Berbagai cara dapat dilakukan untuk membangun empati siswa pada sekolah inklusi.Cara yang dapat dilakukan untuk membangun empati anak dalam proses pembelajaran di lingkungan sekolah adalah dengan menggunakan metode role play atau bermain peran (psikodrama). Sebelum bermain peran, siswa dituntut memahami bagaimana cara berbicara, cara berjalan, pola interaksi, dan perilaku-perilaku lain siswa ABK di sekolah inklusi. Sehingga terjadi proses kognitif pada siswa reguler untuk lebih memahami karakteristik dan sudut pandang siswa ABK. Tahap-tahap psikodrama menurut Prawitasari, (2012:179) adalah sebagai berikut:
- Persiapan : fasilitator menjelaskan prinsip dan tujuan dilaksanakan psikodrama, selanjutnya fasilitator melakukan pembentukan kelompok dan pembagian peran.
- Pelaksanaan : para pemain akan memainkan perannya dalam psikodrama.
- Diskusi : fasilitator memimpin diskusi dan meminta penonton memberikan umpan balik (feedback).
Hasil akhir yang di harapkan dalam kegiatan pembelajaran menggunakan metode psikodrama ini akan membuat siswa menjadi lebih terbuka dan menjauhkan siswa di sekolah inklusi terhadap bullying antara siswa regular terhadap siswa ABK. Hal tersebut dapat terjadi karena rasa empati akan muncul dan tumbuh setelah siswa mengetahui bagaimana menjadi anak ABK dalam kegiatan pembelajaran menggunakan metode psikodrama(Silfiasari:2017).
Daftar Pustaka
Prawitasari, J. E. (2012). Psikologi klinis: Pengantar terapan mikro & makro /
Johana E. Prawitasari (Vol. 2012). Diambil dari/freecontents/index.php/buku/detail/psikologi-klinis-pengantarterapan-
mikro-makro-johana-e-prawitasari-40645.html
Silfiasari, Susanti Prasetyaningrum. 2017. Empati dan Pemaafan dalam Hubungan
Pertemanan Siswa Regular kepada Siswa Berkebutuhan Khusus (ABK) di Sekolah Inklusif. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan. ISSN: 2301-8267 Vol. 05, No.01, Januari 2017.