Mohon tunggu...
Septyan Hadinata
Septyan Hadinata Mohon Tunggu... Lainnya - buruh

Ikhlas bersama sabar dalam mengembara di dunia

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Teh Sangrai Nenek, Selalu Dirindu

5 Desember 2024   22:32 Diperbarui: 5 Desember 2024   22:39 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Dikampungku, minum teh sudah menjadi tradisi sehari-hari. Setiap rumah pasti ada air teh dalam teko ( poci ) kecil maupun besar. Air putih menjadi barang yang langka. Bahkan ada guyon ketika seseorang meminta air putih, pasti ditanya sakit apa. Sebab di kampungku air putih khusus buat yang sakit yang telah diberi jampe-jampe oleh orang yang dianggap pintar.  Makanya di kampungku air teh adalah merupakan sumber energi kehidupan, maka apapun makanya, minumnya pasti air teh.

Saking pentingnya teh bagi warga dikampungku, hampir setiap warganya mempunyai pohon teh yang ditanam sendiri. Makanya teh yang disajikan benar-benar alami buatan warga sendiri yang diolah secara tradisional. Walaupun  kampungku bukan merupakan sentra kebun teh, tetapi pohon teh banyak ditanam di lahan atau kebun warga, yang ditaman disela sela tanaman lainnya seperti pohon albasiah atau mahoni. Kampungku yang bernama Parakantilu Desa Muncang kecamatan Sodonghilir kabupaten Tasikmalaya sebenarnya berada di dataran rendah, tetapi pohon teh tumbuh cukup bagus.  Pengolahan tehnya sendiri dengan cara disangray diatas tungku dengan menggunakan kayu bakar membuat aroma tehnya sangat khas. Satu hal lagi daun teh diolah tanpa dicingcang seperti teh buatan pabrikan. Sehingga tehnya masih berbentuk lembaran daun aslinya. 

Salah satu teh sangray yang terkenal adalah buatan almarhumah Nenek. Hampir setiap lebaran Nenek banjir pesanan teh untuk oleh-oleh warga yang mudik untuk dibawa ke kota. Padahal dari cara pembuatannya/ pengolahan, sama dengan yang lain tidak ada yang beda dan tidak memakai ramuan khusus. Tetapi entah kenapa teh sangray buatan nenek sangat beda wangi dan rasanya bahkan warnanya juga jauh beda dengan teh buatan orang lain. Bahkan ketika penulis berkunjung ke rumah nenek, pasti Ibu dan Bapak selalu pesan teh sangray nenek. 

Pohon teh milik nenek tidak begitu banyak paling sekitar 30 pohon yang ditaman halaman belakang rumahnya. Menurut cerita bibit teh yang ditanam adalah dibawa oleh kakek yang merupakan prajurit Siliwangi  yang poernah terlibat dalam operasi pagar betis penumpasan DI/TII di Tasikmalaya. Menurut cerita nenek, bibit teh yang dibawa kakek berasal dari daerah Garut. 

Cara minum teh Almarhum Kakek berbeda dengan kebiasan orang pada umumnya. Dimana teh disajikan dalam keadaan panas atau hangat. Tetapi kakek lain, yakni minum teh yang telah disimpan satu hari sebelumnya dalam keadaan dingin atau istilah di kampung kami adalah teh bari. Konon menurut cerita Nenek, minum teh bari sangat besar khasiatnya bagi badan terutama untuk menambah stamina. Dan ciri khas kakek meminum teh bari itu tidak memakai gelas atau cangkir tetapi memakai batok dari kepala yang dibuat khusus oleh kakek sendiri. 

Penulis masih bisa merasakan nikmatnya minum teh sangray buatan nenek, walau sudah berlalu puluhan tahun. Rasanya seperti masih nempel dan khas aromanya. Pokoknya teh sangray buatan nenek tidak ada yang bisa menggantikan. Namun kini semuanya tinggal kenangan. Sepeninggal nenek, tidak ada lagi yang melanjutkan mengolah teh. Bahkan dikampungku kini pohon teh sudah sirna diganti dengan pohon lain. Tradisi sangray teh kini punah karena tida ada generasi yang melanjutkannya. Sehingga kalau dulu di warung tidak ada jualan teh, sekarang sebaliknya banyak dijual dengan berbagai merk. Bahkan minuman teh sudah bukan menjadi kebiasaan lagi. Teko-teko tempat menyeduh teh hilang digantikan gelas plastik berisi air mineral

Itulah sekelumit cerita pengalaman penulis soal minum teh.  Cerita penuh kerinduan akan teh sangray nenek 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun