Mohon tunggu...
Septiawan malikibarkah
Septiawan malikibarkah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aman

Maju berjuang atau mundur tertindas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Apakah RKUHP Pelindung untuk Pejabat Publik?

28 Juni 2022   12:04 Diperbarui: 28 Juni 2022   12:23 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

RKUHP (Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana) menjadi polemik yang terjadi di Indonesia cukup lama. Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini KUHP masih menggunakan hasil warisan kolonial belanda.

Pada pemerintah kolonial saat itu memberlakukan hukum ini secara nasional pada tahun 1918 dan pembahasan RKUHP sejatinya telah mendapatkan banyak gelombang penolakan dari masyarakat.

Pemerintah memiliki wacana terhadap pengesahan RKUHP pada tahun ini. Ketua Komisi III DPR RI mengatakan bahwa draft terbaru dari RKUHP telah rampung dibahas dan tinggal menunggu pengesahan yang dikabarkan akan disahkan pada 22 Juli mendatang.

Akan tetapi, dikarenakan minim transparansi dari draf yang dibahas, tentu saja menimbulkan gejolak kemarahan. RKUHP adalah kebijakan yang ditujukan kepada publik, namun dimana letak partisipasi masyarakat di dalamnya? Siapa yang ingin mematuhi sebuah peraturan yang isinya bahkan tidak diketahui oleh para pematuhnya? 

Kembali dihadirkan oleh Negara produk hukum gagal yang tidak pro terhadap masyarakat. Pemerintah hingga sampai saat ini enggan membuka draft terbaru dari RKUHP yang terakhir versi 2019.

Masih terlalu banyak kepentingan yang dibawa, masih terlalu banyak upaya upaya pengkerdilan terhadap rakyat. Maka RKUHP ini yang katanya dibuat untuk Dekolonialisasi justru sebagai alat untuk Rekolonialisasi.
Proses pembahasan RKUHP sampai saat ini masih menuai polemik, tertutup dan nirpartisipatif.

Demikian pula dari sisi substansi, tujuan mereformasi KUHP kolonial tampaknya tidak dapat terwujud jika pasal-pasal yang cenderung overkriminalisasi dan membatasi ruang gerak masyarakat masih menempel dalam naskah.

1. Pasal yang akan merubah paradigma pemberitahuan aksi menjadi perizinan dan berujung sanksi pidana jika dilanggar;
2. Pasal tentang penyerangan harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden;
3. Pasal penghinaan terhadap pemerintah yang sah; dan
4. Pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara.

Pasal-pasal ini nantinya akan menjadi alat kriminalisasi terhadap warga negara yang mengkritik bahkan memiliki perbedaan pendapat dengan penguasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun