Mohon tunggu...
Komang SeptiaTri Widari
Komang SeptiaTri Widari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memahami Makna Perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan Umat Hindu di Bali

17 Juni 2022   20:57 Diperbarui: 17 Juni 2022   21:11 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bali merupakan salah satu kepulauan yang ada di Indonesia. Bali dijuluki sebagai pulau seribu pura karena memang mayoritas masyarakat yang tinggal di pulau Bali menganut agama Hindu, sehingga tidak jarang terdapat banyak pura yang ada di Bali. Masyarakat Bali yang menganut agama Hindu di Bali memiliki tradisi turun temurun serta kepercayaan yang dianutnya masih sangat kental, sehingga dapat dikatakan bahwa Hindu di Bali paling banyak memiliki hari raya suci jika dibandingkan dengan agama lain. Adapun salah satu hari raya suci agama Hindu di Bali yakni hari raya suci Galungan dan Kuningan. Sebenarnya hari raya yang dirayakan bukan hanya Galungan dan Kuningan saja dan pada setiap hari raya suci yang dirayakan oleh umat agama Hindu di Bali memiliki maknanya masing-masing seperti perayaan hari raya suci Galungan dan Kuningan. Lalu apa bagaimana makna yang terdapat pada perayaan hari raya Galungan dan Kuningan yang dilakukan oleh umat beragama Hindu di Bali?

Hari raya suci Galungan jatuh pada hari rabu yakni budha kliwon wuku dungulan, hari raya ini dirayakan oleh umat Hindu di Bali setiap 6 bulan atau 210 hari sekali. Kata Galungan diambil dari bahasa Jawa Kuno yang artinya bertarung, dapat juga disebut "dungulan" berarti menang. Perbedaan penyebutan wuku Galungan di Jawa dengan wuku Dungulan di Bali adalah sama yakni wuku yang kesebelas. Hari raya Galungan memiliki beberapa makna yang terkandung di dalamnya yakni pertama perayaan hari raya Galungan dibuat untuk mempringati kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (kejahatan), kemenangan ini bermakna kemenangan umat memenangkan diri melawan egois serta memperingati terciptanya alam semesta jagat raya beserta seluruh isinya. Sehingga dibuatkan perayaan hari raya Galungan yang dilakukan oleh umat beragama Hindu di Bali. Sebagai ucapan syukur atas kemenangan Dharma melawan Adharma umat Hindu di Bali melakukan persembahan kepada Sang Hyang Widhi Wasa serta Dewa Bhatara dengan segala manifestasinya. Penjor yang terpasang di tepi jalan pada setiap rumah dibuat sebagai aturan ke hadapan Bhatara Mahadewa. 

Kemudian kedua hari raya Galungan dimaknai sebagai suatu bentuk keheningan atas kemakmuran dan kesejahteraan yang dilimpahkan oleh Tuhan dalam hal ini adalah Sang Hyang Widhi Wasa. Galungan sebagai tangga menuju pada kehidupan yang lebih baik serta pikiran yang suci dan bersih diharapkan akan dapat menghilangkan semua pengaruh yang membawa dampak negatif pada kehidupan. Seperti yang disebutkan pada lontar Sundarigama yang berbunyi "Buda kliwon dungulan ngaran galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep" yang artinya Rabu kliwon dungulan namanyagalungan, arahkan untuk bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.

Sebelum merayakan hari raya Galungan terdapat beberapa rangkain perayaan hari raya suci untuk menyambut Galungan yakni tumpek wariga, sugihan jawa, sugihan bali, penyekeban, penyajan, penampahan, hari raya Galungan dan terakhir umanis Galungan. Semua umat beragama Hindu di Bali merayakannya dengan semarak, baik pria, wanita, bahkan anak-anak sekalipun. Mereka semua mengenakan baju adat berupa kebaya yang didominasi warna putih. Biasanya, para wanita akan membawa banten saat Hari Raya Galungan. Mereka akan pergi beribadah ke pura atau tempat suci keluarga untuk mengadakan persembahyangan. 

Selain hari raya Galungan, umat Hindu di Bali juga memperingati dan merayakan hari raya Kuningan. Hari raya kuningan atau sering disebut tumpek kuningan jatuh pada hari saniscara kliwon wuku kuningan, tepatnya 10 hari setelah hari raya Galungan. Sama hal nya dengan Galungan, hari raya kuningan juga diperingati setiap 6 bulan sekali. Kata Kuningan memiliki arti "kauningan" yang berarti mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari marabahaya. Hari raya kuningan merupakan hari resepsi bagi hari Galungan sebagai kemenangan dharma melawan adharma yang dalam pemujaannya dipersembahkan kepada para Deva dan Pitara agar turun melaksanakan pensucian serta mukti, atau menikmati sesaji yang dipersembahkan. Pada hari ini raya ini diyakini bahwa para Dewa, Bhatara, diiringi oleh para Pitara turun ke bumi hanya sampai tengah hari saja, sehingga pelaksanaan upacara dan persembahyangan Hari Kuningan hanya sampai tengah hari saja. 

Pada saat hari raya Kuningan, umat beragama Hindu melakukan persembahyangan dengan menghaturkan persembahan berupa banten kepada para leluhur untuk memohon kemakmuran, perlindungan, keselamatan dan juga tuntunan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun beberapa perlengkapan pada hari raya Kuningan yang membedakan dari Galungan dan hari raya lainnya yakni endongan berbentuk seperti sebuah kompek atau tas yang berisi perbekalan, sebagai simbol persembahan yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Kemudian tamyang sebagai simbol penolak bala atau marabahaya. Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan Sang hyang Widhi, para Dewa dan leluhur kita. Tidak lupa dengan nasi kuning sebagai lambang kemakmuran. Perayaan hari raya Kuningan memiliki makna yang tidak jauh berbeda dari hari raya Galungan yakni sama sama bermakna untuk memohon anugrah dan perlindungan Sang Hyang Widhi Wasa. Selain itu makna hari raya kuningan adalah memohon keselamatan, kedirgayusan, perlindungan dan tuntunan lahir-bathin kepada para Dewa, Bhatara, dan para Pitara. Saat hari Raya Kuningan, umat Hindu diharapkan tahu dan sadar untuk tetap mengendalikan diri atau indria yang tidak pernah ada batasnya. Saat ini dipuja Dewa Indra sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widi.

Rentetan perayaan Galungan-Kuningan paling akhir yakni saat hari pegat tuwakan yang dilakukan 32 hari setelah Kuningan tepatnya pada hari Rabu, Kliwon, wuku Pahang. Adapun banten yang yang dihaturkan pada hari pegat tuwakan adalah sesayut Dirgayusa, panyeneng, tatebus kehadapan Tuhan yakni Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan peringatan pegat tuwakan ini maka berakhirlah semua rangkaian hari raya Galungan-Kuningan selama 42 hari, terhitung sejak hari Sugimanik Jawa. 

Jadi dari penjelasan diatas mengenai makna perayaan hari raya Galungan dan Kuningan yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali pada intinya memiliki makna tersendiri. Sebenarnya semua perayaan hari raya suci yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali juga memiliki maknanya masing masing dan yang paling terpenting disini adalah bagaimana umat tersebut dalam merayakannya. Melakukan perayaan hari raya tidak harus mewah artinya dicukupkan dengan kondisi setiap individu dan dilakukan dengan tulu ikhlas yang penting tidak mengurangi makna dari perayaan tersebut dan tujuannya adalah untuk memohon anugrah dan perlindungan kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Kemenangan dharma melawan adharma yang telah dirayakan pada setiap Galungan dan Kuningan diharapkan dapat diserap dengan baik dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Melakukan sebuah Dharma atau kebaikan tidak hanya diwacanakan tetapi dilaksanakan dan diperlukan tindakan yang mencerminkan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari. Keutamaan dharma perlu kita ketahui, pahami kemudian kita laksanakan sehingga menemukan siapa sebenarnya jati diri kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun