Pasar modal sering dipandang sebagai cerminan dari daya tarik ekonomi suatu negara dimata investor, baik domestik maupun internasional. Di tahun 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia mengalami turbulensi yang cukup menantang. Baru satu setengah bulan berjalan, IHSG telah terkoreksi sekitar 7,82%.
Secara historis, awal tahun memang bukan periode yang baik karena terkadang terjadi post-window dressing, profit taking, maupun portfolio rebalancing yang dilakukan para investor. Namun, mari coba kita lihat dalam horizon yang lebih panjang. Selama lima tahun terakhir, IHSG tumbuh 13,15%, atau rata-rata hanya 2,63% per tahun. Capaian itu bahkan lebih rendah daripada imbal hasil deposito biasa.
Sayangnya, pertumbuhan itupun sebagian besar mengalir ke saham emiten lapis dua atau bahkan tiga, karena indeks emiten saham utama di IHSG yaitu LQ45 justru mencatatkan kinerja negatif 19,24% selama lima tahun terakhir, wow!
Lemahnya kinerja IHSG ini agak kontras dengan indeks Amerika Serikat (AS) seperti Nasdaq yang tumbuh 105,80% selama lima tahun terakhir, atau rata-rata 21,16% per tahun. Okay, AS memang pusat keuangan dunia sehingga pusat permodalan ada disana. Bagaimana dengan negara lain?
India, yang memiliki demografis dan kondisi ekonomi hampir sama dengan Indonesia. Indeks NIFTY50 India mencatat peningkatan 89,29% selama lima tahun terakhir, atau rata-rata 17,86% per tahun. Sedangkan Vietnam, tetangga dan rival Indonesia di Asia Tenggara, indeks VN30 membukukan pertumbuhan 54,82% selama lima tahun terakhir, atau rata-rata 10,96% per tahun. Dua indeks rival Indonesia ini mampu tumbuh signifikan.
Indeks pasar modal yang meningkat menunjukkan aliran transaksi permodalan yang lebih besar di sebuah negara yang dapat berdampak pada meningkatnya arus modal usaha perusahaan dan perputaran roda ekonomi. Contoh riil misalnya, dengan para perusahaan atau emiten mendapatkan modal baik melalui Initial Public Offering (IPO) atau right issue, maka produksi dapat meningkat, pabrik-pabrik baru didirikan, keuntungan lebih besar, hingga lapangan kerja baru bermunculan.
Saat ini, investor asing masih cenderung menarik diri dari IHSG. Sejak awal 2025, tercatat lebih dari Rp9 triliun telah keluar dari pasar saham Indonesia (foreign capital outflow). Mengapa?Â
Berbagai berita bisa mengulas mengenai faktor geopolitik, dampak fluktuasi kurs rupiah, kondisi makroekonomi dan lain-lain. Namun ya realitanya, suka-suka investor mau tarik atau tempatkan dananya. Berbagai isu bisa menjadi sentimen yang mempengaruhi keputusan investor.