Mohon tunggu...
Septian Ananggadipa
Septian Ananggadipa Mohon Tunggu... Auditor - So let man observed from what he created

Pejalan kaki (septianangga7@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belajar dari Atraksi Politik Jokowi dan Prabowo

29 Juli 2019   14:35 Diperbarui: 29 Juli 2019   14:37 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden

Ada juga Partai Demokrat yang mulai limbung, jebloknya performa perolehan suara di dua pilpres terakhir membuat SBY berpikir keras. Drama di awal pilpres 2019 yang membuat SBY "terpaksa" memilih untuk mendukung Prabowo-Sandiaga membuat Partai Demokrat ada di posisi yang agak sulit.

Partai Demokrat praktis memiliki proyek untuk "menerbangkan" Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Maka dari itu, AHY perlu panggung, mendekati pemerintah adalah jalan rasional yang kini tampaknya coba dilakukan Demokrat. Bukan rahasia lagi, tujuannya tentu agar AHY punya kesempatan memupuk popularitas demi pilpres 2024. Bahkan kabarnya, SBY akan turun gunung langsung untuk melakukan lobi-lobi politik di level elite.

Nasib Oposisi dan Peluang 2024

Ramainya atraksi politik menjelang akhir pilpres menyisakan tanda tanya besar bagi nasib oposisi. Dengan kondisi partai Gerindra, PAN dan Demokrat yang mulai PDKT ke Jokowi, praktis hanya PKS yang masih punya cukup kekuatan dan tetap setia menggaungkan prinsip sebagai oposisi.

Jika bicara keseimbangan demokrasi, idealnya Gerindra, PAN, Demokrat dan PKS solid menjadi oposisi. Jika hanya PKS yang menjadi oposisi, tentu kekuatan politik di Senayan menjadi tidak seimbang, pemerintah memiliki power terlalu besar untuk mengendalikan laju pemerintahan.

Dengan koalisi partai pengusungnya saja, Jokowi sudah memiliki 54,9% kursi legislatif. Mungkin jika PAN atau Demokrat yang pindah haluan ke koalisi, kekuatan parlemen masih relatif seimbang mengingat selalu ada partai koalisi yang terkadang "nakal".

Namun jika Gerindra yang menyeberang ke kubu pemerintah tentu akan sangat berdampak pada dinamika pemerintahan lima tahun ke depan. Oposisi memiliki fungsi yang sangat penting dalam mengkritisi dan mengerem laju pemerintah, berbahaya bukan mengendarai mobil tanpa rem yang handal?

Jika oposisi tidak cukup punya power, bukan tidak mungkin koalisi pemerintahan terlalu leluasa bergerak dan cenderung lepas kendali. Jokowi bisa jadi seperti SBY periode kedua yang banyak menteri dan kader utama partainya terciduk KPK justru di akhir masa jabatan. 

Dampaknya serius, PDIP bisa bernasib sama dengan Demokrat, hegemoni kekuasaan dan kekuatan partai rontok perlahan-lahan.

Transaksi koalisi dan oposisi tentu akan berdampak juga pada peluang di pilpres dan pileg 2024. Nama-nama potensial seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, dan Khofifah Indah Parawansa sudah memiliki panggung serta modal popularitas. Tapi tidak bisa dilupakan juga nama-nama besar seperti Sandiaga Uno, Mahfud MD, Muhaimin Iskandar, AHY, TGB, dan Gatot Nurmantyo, yang jika mendapat panggung ideal dapat menjadi penantang serius di 2024.

Dengan adanya Gerindra yang mulai mesra dengan PDIP, Anies yang "say hello" dengan Nasdem, Ridwan Kamil yang steady dengan PPP dan PKB di Jabar, peta politik lima tahun ke depan akan menarik untuk disimak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun