Pasca libur panjang hari raya lebaran, kaum urban berduyun-duyun kembali memadati ibukota. Pemandangan kota yang sebelumnya sangat lengang saat masa libur dalam sekejap dipenuhi ribuan kaum urban pemburu pundi-pundi rupiah.Â
Saat kita sudah saling bermaafan dengan sanak saudara dan sahabat, kini saatnya menilik kota Jakarta. Entah sudah berapa banyak manusia dan kota ini saling menyakiti, namun selalu ada rasa yang hidup didalamnya.
Seorang sastrawan, Seno Gumira Ajidarma, pernah menuliskan dalam salah satu karyanya.
"Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa." (Menjadi Tua di Jakarta).
Sindiran satir tersebut mungkin pernah dirasakan sebagian besar kaum Jakartans yang berusaha sekeras mungkin bertahan hidup di ibukota.Â
Sulit untuk diingkari, perasaan itu sering timbul saat kita melihat keangkuhan kota yang selalu memberi ujian tanpa henti, mulai dari bangun tidur hingga tengah malam.Â
Pada akhirnya banyak dari kita yang merasa tersakiti, sanggupkah kita memaafkan kota Jakarta?
Meskipun dikelilingi dengan berbagai ketidaknyamanan, kaum Jakartans tetap setia hidup di kota ini. Bagaimana tidak, sumber penghidupan masih mengalir dari gedung-gedung kaca yang berdiri kokoh walaupun orang-orang di dalamnya tertatih-tatih.
Apakah Jakarta tidak lelah?Â
Bagaikan seorang ibu, kota Jakarta tetap tabah melihat anak-anaknya yang nakal, egois dan tak pernah puas bertingkah sesuka hati tapi tetap saja emosi.
Polusi, kemacetan, dan segala kriminalitas di hiruk pikuk kota ini tidak membuat kaum Jakartans menjadi jera, justru terus memaksa manusia dan Jakarta saling berlomba untuk menjadi digdaya.