Mohon tunggu...
Pendidikan

Marhaenisme, Ideologi Bung Karno yang Hampir Mati

29 Desember 2018   00:18 Diperbarui: 29 Desember 2018   00:32 2445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

73 tahun lalu, proklamasi berhasil dibacakan oleh Founding Fathers  kita yang tidak mungkin terlupakan bagi bangsa ini yang menandakan Indonesia akhirnya bisa menyuarakan kemerdekaan kepada dunia. Setelah kemerdekaan itu, bisa dikatakan bahwa imperialisme yang beberapa abad lamanya menghantam Indonesia bisa dihapuskan dari tanah bumi pertiwi ini. Bung Karno adalahh tokoh atau 'peran' utama (tanpa mengesampingkan Hatta) pelopor  bagi kemerdekaan Indonesia dan sekaligus Bung Karnolah yang mendapat amanah sebagai presiden pertama kita saat itu. Beliau meninggalkan banyak hal yang terus terkenang dan sejatinya masih bisa dijadikan bahan pembelajaran, salah satunya adalah ideologi yang ia kumandangkan, Marhaenisme.Ideologi yang lahir pada tahun 1927 ini merupakan ideologi yang muncul akibat penindasan petani kecil oleh lingkungan dan sistem yang mengelilininya, yaitu imperialisme/kolonialisme yang merupakan perwujudan negatif dari kapitalisme. Marhaenisme adalah salah satu jalan bagi Soekarno untuk mencapai Sosialisme Indonesia atau sering di sebut dengan cita-cita "Indonesia Merdeka" kala itu.

Marhaenisme sendiri diambil dari nama seorang petani di Bandung Selatan yang memilki  peralatan pribadi, sebidang tanah kemudian menggarapnya sendiri,  dan hasil produksinya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang ditemui Bung Karno ketika sedang mengadakan riset tahun 1920-an. Dr. Hueren (diplomat kolonial Belanda) pernah berkata, bahwa Marhaen adalah rakyat "minimum-lijdster", yaitu rakyat yang sudah begitu melarat, sehingga kalau seumpamanya dikurangi lagi sedikit saja bekal hidupnya, niscaya ia bisa jatuh atau lebih parahnya akan binasa(1). 

Menurut Bung Karno,Pak Marhaen adalah gambaran besar masyarakat Indonesia yang kala itu masih diisi oleh mayoritas petani kecil yang tertindas oleh kompeni. Bung Karno menyebut Marhaenisme sebagai Marxisme yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia. Jadi, bisa disimpulkan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme ala Indonesia atau Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia itu sendiri(2). Ya, benar. Bung karno memang seorang tokoh golongan kiri. Bung Karno adalah seorang Marxis plus-plus, di tambah dengan nasionalis dan agamis, yang disebutnya sebagai Nasakom, bahkan pada tanggal 28 Februari 1966 beliau terang-terangan mengakui dirinya seorang Marxis. "Aku tegaskan dengan tanpa tedeng aling-aling ya, aku Marxis."(3).

Marhaenisme bertujuan untuk menghilangkan penghisapan, penindasan, pemerasan dan penganiayaan dan berupaya mencapai serta mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, melalui kemerdekaan nasional, demokrasi politik dan demokrasi ekonomi (Soekarno, 1927). Dalam pencapaian tujuannya, Marhaenisme menggunakan asas Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi yang diterapkan dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia(4). Menurut Bung Karno dalam memahami Marhaenisme secara mendalam setidaknya ada dua hal yang harus kita kuasai dengan benar dan seksama, yakni (1) Pengetahuan tentang situasi dan kondisi Indonesia dan (2) Pengetahuan tentang Marxisme.

Cita-cita Bung Karno tentang kersejahteraan kaum marhaen dalam konsep ideologi Marhaenisme akhirnya harus sirna beriringan dengan lengsernya Bung Karno dari posisi pemimpin negeri ini pada tahun 1967. Satu tahun sebelumnya, setelah kontra-revolusi mulai berkuasa, keluarlah Tap MPRS nomor XXV dan MPR XXVI/ MPRS/ dengan tujuan untuk membersihkan ajaran-ajaran Bung Karno dari Marxisme. Efeknya sangat merusak. Tanpa Marxisme, ajaran Bung Karno kehilangan "api"-nya. Tidak mengherankan, ajaran Bung Karno yang terdengar di telinga kita sekarang ini tak lebih dari sebuah frase-frase atau slogan-slogan heroik tanpa isi dan semangat atau bisa dikatakan Marhaenisme pasca Bung Karno adalah Marhaenisme tanpa Marxisme(5).

 Marhaenisme yang diperjuangkan oleh para Marhaenis saat ini (khususnya pada panggung politik) adalah Marhaenisme yang 'berbeda' dari apa yang diperjuangkan sang pemiliknya beberapa puluh tahun lalu. Selain itu, terkait Marhaenis yang terjun ke dunia politik untuk memperjuangkan Sosialisme Indonesia, para Marhaenis ini ujung-ujungnya sama saja dengan politisi lain yang menjadikan rakyat hanya sebagai konstituen dalam pemenangan Pemilu. Wajar saja jika dengan sekian banyak golongan Marhaenis ini menceburkan diri ke elit-politik dan meraih kursi, namun tidak ada dampak apapun yang signifikan bagi upaya pembangunan sosialisme Indonesia (Mastono, 2016). Maka bisa dikatakan bahwa Marhaenisme yang di agung-agungkan Soekarno rasanya sudah 'hampir mati', arti kata mati disini bukan mati sesuai definisi yang kita pahami dan sepakati, namun mati karena ideologi ini tidak terdengar  lagi eksistensinya di negeri ini.

Lalu apakah Marhaenisme masih relevan dengan kondisi Indonesia sekarang ini? Menurut pemahaman penulis, Masih. Merujuk pada data resmi BPS November 2018, hampir 60 persen masyarakat Indonesia bekerja di sektor informal  (pedagang kecil, perajin kecil dan pertanian berskala kecil). Artinya, mayoritas masyarakat Indonesia sekarang adalah pemilik produksi kecil, yang bisa kita sebut dengan definisi Kaum Marhaen menurut Bung Karno sedia kala. 

Selain itu  kita juga bisa merujuk pada data yang dikeluarkan Credit Suisse yang menyatakan bahwa sampai 2016 tercatat sekitar 1 persen (2,6 juta jiwa) orang terkaya di Indonesia menguasai 49% dari total kekayaan nasional; 10 persen orang terkaya (26 juta jiwa) menguasai 77% kekayaan nasional; dan sekitar 100 juta orang termiskin (40%) berebut 1,4% dari total kekayaan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan dan kemakmuran yang dicita-citakan Founding Father  kita masih belum tercapai, atau kaum marhaen di Indonesia belum mendapatkan hak dan tempat yang semestinya. Kondisi ini jelas menyatakan bahwa ideologi Marhaenisme masih relevan untuk diterapkan dalam kondisi Indonesia saat ini, setidaknya dalam menciptakan kemerataan, keadilan, dan kemakmuran bagi masyarakat Indonesia, khususnya kaum Marhaen.

Lalu apakah Marhaenisme bisa dijadikan solusi dalam memperbaiki kondisi tersebut? Jawabannya, bisa. Jikapun ideologi Marhaenisme tidak dipakai "seutuhnya" namun nilai-nilai baik yang terkandung didalamnya dapat digunakan. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kondisi para Marhaen di Indonesia lebih sejahtera, yakni (1) Optimalisasi pembangunan Infrastruktur pendukung (infrastruktur pedesaan, pengadaan teknologi dan mesin canggih); (2) Edukasi produksi (pelatihan dan pemantauan produksi, kesediaan pasar yang jelas); (3) Regulasi yang mendukung kaum Marhaen (Produksi lokal yang diutamakan, harga bahan baku murah); (4) Pemertaan distribusi pendapatan.

Pada akhirnya, Marhaenisme adalah salah satu ideologi dari sekian banyak ideologi yang bertebaran di dunia yang bisa saja digunakan pemerintah untuk dijadikan pedoman dan role model dalam mencapai Indonesia 2045. Sudah saatnya, Indonesia memiliki ideologinya sendiri, tanpa dipengaruhi antek asing ataupun comprador-comprador  yang meracuni pemikiran para wakil rakyat di pemerintahan. Indonesia harus bisa berdiri dikakinya sendiri, dengan sadar dan betul-betul paham. Sudah saatnya kita sadar bahwa negara-negara sahabat dan tetangga kita sudah pergi dan dalam tahap "bermewah diri" sedangkan kita masih sembunyi dalam kata "mencari jati diri".

sumber :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun