Mohon tunggu...
Seni Asiati
Seni Asiati Mohon Tunggu... Guru - Untuk direnungkan

Berawal dari sebuah hobi, akhirnya menjadi kegiatan yang menghasilkan. Hasil yang paling utama adalah terus berliterasi menuangkan ide dan gagasan dalam sebuah tulisan. Selain itu dengan menulis rekam sejarah pun dimulai, ada warisan yang dapat kita banggakan pada anak cucu kita nantinya. Ayo, terus torehkan tinta untuk dikenang dan beroleh nilai ibadah yang tak putus.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Misteri Rana

29 Mei 2020   21:53 Diperbarui: 29 Mei 2020   22:22 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Jepang saat ini  masih musim dingin bulan Januari, terlihat salju berjatuhan dari langit dengan lembutnya. Saat siang suhu musim dingin di wilayah Tokyo dapat mencapai sekitar 12 derajat, sedangkan pada malam hari suhu bisa turun sampai 5 derajat Celsius. Ketika memasuki bulan Januari di tahun berikutnya, suhu pada siang hari mencapai 10 derajat, dan pada malam hari bisa mencapai 2-3 derajat Celsius. Di bulan Februari, suhu di siang hari 10-11 derajat dan pada malam hari bisa sampai 3 derajat, lho! Rasanya salju mendinginkan hatiku.

Kami rupanya datang di saat yang tepat. Sudah sejak kecil aku ingin merasakan salju, tapi keinginan itu tidak pernah terpenuhi karena kecelakaan yang merengut orang-orang terkasihku. Rana berjalan dengan santainya dan dengan senyum di wajahnya.  Tak terlihat lagi perasaan  khawatir dan rasa takut. Langkah ringan Rana yang periang sudah kembali. Seperti Rana yang senang bisa mendarat dengan selamat, akupun demikian.  Seandainya mereka mendarat dengan selamat bukan saat ini tapi lima belas tahun yang lalu, pastilah lebih menyenangkan. Masih ada ayah dan ibuku dan terutama gadis kecil berkuncir kuda kesayanganku ada disamping saat ini.

Lima belas  tahun yang lalu ayah dan ibu mengajak kami sekeluarga untuk pulang ke Jepang mengunjungi keluarga kami. Berita baiknya ibu bilang kalau saat kami berangkat adalah saat musim dingin akan ada salju di sepanjang jalan dan pepohonan. Aku dan Nara sudah merencanakan  apa yang aku lakukan di Jepang nanti. Kami akan membuat boneka salju pertama kami, dan kami akan perang bola salju bersama. Banyak saudaraku di Jepang yang seumuran dengan aku dan Nara sangat  menantikan kami. Mereka sudah mengirimkan kegiatan apa saja yang menyenangkan selama kami berlibur di Jepang.

Ibu sudah mempersiapkan segalanya, pakaian dingin kami sudah lengkap semua. Ibu sudah merencanakan jauh-jauh hari padahal aku dan Nara  usai libur sekolah. Ibu terpaksalah meminta izin ke sekolah. Kata ibu, kami harus mengalah karena ayah diijinkan cuti bulan Januari.  Saat itu sedang musim hujan di Indonesia, hampir di mana-mana banjir. Kami yang masih kecil tidak peduli dengan kondisi cuaca seperti itu yang terpenting aku dan Nara dapat berlibur bersama.  Menunggu hari keberangkatan menjadi sesuatu yang membosankan. Aku dan Nara memberi coretan pada kalender yang terpajang di dinding kamar. Rencananya aku akan berangkat bersama ayah, ibu, dan Nara. Tiket pesawat sudah dipesan kami siap berangkat. Berita baik untukku dan buruk juga untukku dan keluarga. Aku masuk final dalam debat bahasa Jepang yang pelaksanaannya mundur dari jadwal yang ditetapkan panitia. Lomba ini sangat penting bagiku dan sekolahku.  Aku ingin membuat ayah bangga padaku karena aku dapat berkompetisi dengan bahasa ayahku. Akhirnya diputuskan aku akan berangkat bersama teman ayah yang juga orang Jepang dua hari setelah keberangkatan keluargaku. Mulanya aku marah dan tidak mau ikut lomba. Tapi  harapan ayah dan ibu juga kepercayaan sekolahku karena aku satu-satunya wakil provinsi membuatku harus mengalah. Ayah meyakinkan aku bahwa mereka tidak akan kemana-mana sampai aku tiba di Jepang. Janji yang memang ditepati karena mereka tidak kemana-mana.

Hari itu masih aku ingat betul. Malam keberangkatan keluargaku, Nara ke kamarku dan bertanya yang pertanyaannya selalu membuatku tertawa geli. Pukul tiga pagi mereka akan berangkat. Malam itu aku marah dan tak membuka pintu kamar karena mereka akan meninggalkan aku. Perbuatan yang aku sesali seumur hidupku karena masih jelas di telingaku suara merdu Nara ketika ibu memandikan dan memberinya baju. Nyanyian Nara yang memasuki kamarku melalui celah-celah rongga di jendela tak mengusikku untuk bangun dan mengucapkan selamat jalan. Aku pura-pura tertidur sampai langkah kaki kecil mendekati pintu sebelum suara cempreng Nara membangunkanku, ibu sudah mengajaknya untuk bergegas karena taksi sudah menunggu. Masih kudengar bisikan ibu di telingan Nara," Nara abang Lyan masih tidur tidak usah dibangunkan yah, besok abang mau lomba. Nara tulis surat saja taruh di bawah pintu biar abang baca, oke." Suara ibu yang lamat-lamat aku dengar terasa menghujam jantungku. Aku ingin mengendong Nara dan membetulkan kuncir kudanya. Tapi keegoisan dan gengsiku membuatku lupa semua. Perbuatan tolol yang aku sesalkan sampai saat ini.

 Nara membawa boneka doraemon dan bantal leher berwarna biru polkadot kesayangannya. Kulihat ayah membimbing tangan mungilnya yang sesekali langkahnya berhenti dan menengok ke jendela kamarku yang memang menghadap ke jalan. Aku mengintip dari celah gordeng kepergian orang-orang yang aku sayangi. Belakangan penyesalan ini membuatku tak suka melihat boneka doraemon bahkan enggan naik taksi biru.

"Abang Lyan, Nara tunggu, yah jangan lupa bawa surabi duren yah," suara Nara di telan gemuruh knalpot taksi yang semakin menjauh. 

Pintu ruang aula besar tempat lomba terasa dingin luar biasa. Pendingin di ruangan mungkin terlalu rendah pikirku. Kulihat sudah banyak finalis dan para supporter. Aku sendiri didampingi Mr. Tatematsu  dan beberapa teman sekolah yang ikut menjadi suporterku. Debat kali itu seru tentang remaja dan budaya Jepang. Rasanya sedih tak ditemani orang terkasih. Hanya surat Nara yang membuatku tidak merasa sendiri.

Abang Ly kebanggaan Nara, Nara nunggu yah. Abang harus juara biar kita buat piala dari salju. Nanti abang pasti tahu Nara melihat Abang Ly lomba dari atas sana.

Nara sayang Abang Ly

Tulisan tangan Nara yang pastinya susah payah dia buat. Nara sudah pandai menulis karena sering kali aku ajak berlatih menulis. Surat Nara membuat lomba debat ini menjadi hidup dan membuatku bersemangat. Alhasil aku menyandang predikat juara lomba debat tahun itu. Rasanya tak sabar ingin mengabarkan pada mereka. Tapi aku tahu mereka belum bisa menerima telepon dariku masih di atas awan. Akhirnya memang aku tak pernah bisa menelepon mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun