Mohon tunggu...
Seni Asiati
Seni Asiati Mohon Tunggu... Guru - Untuk direnungkan

Berawal dari sebuah hobi, akhirnya menjadi kegiatan yang menghasilkan. Hasil yang paling utama adalah terus berliterasi menuangkan ide dan gagasan dalam sebuah tulisan. Selain itu dengan menulis rekam sejarah pun dimulai, ada warisan yang dapat kita banggakan pada anak cucu kita nantinya. Ayo, terus torehkan tinta untuk dikenang dan beroleh nilai ibadah yang tak putus.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Misteri Rana

29 Mei 2020   21:53 Diperbarui: 29 Mei 2020   22:22 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Oh gitu, kirain rumah kosong, kan seram juga hahaha" aku tertawa membayangkan rumah kosong seperti judul sebuah sinetron yang pernah aku bintangi.

"Ibaraki adalah prefektur yang cukup ramai tetapi tidak seperti Tokyo  banyak perumahan mewah juga di sana, persis dengan perumahan di Pondok Indah lah" jawabnya

"Banyak yang seperti itu memilih apartemen daripada rumah," jawabku sambil membenarkan jaket yang mulai meranggas dingin masuk dari celah-celah jaket. Teman-temanku yang orangtuanya memiliki rumah di Pondok Indah rata-rata tinggal di apartemen di tengah kota.

Sepanjang jalan Rana bercerita tentang Prefektur Ibaraki atau dalam bahasa Japan Ibaraki-ken. Prefektur ini terletak di wilayah Kant di pulau Honsh.  Mito merupakan ibu kota dan kota terbesar di Prefektur Ibaraki, dengan kota-kota besar lainnya seperti Hitachi, Hitachinaka, dan Tsukuba.

 "Setelah istirahat, besok pagi kita ke Danau Kasumigaura, kata Rana sambil membentangkan peta yang ia datatkan di bandara tadi, " Danau ini adalah danau terbesar kedua di Jepang, semoga danaunya tidak tertutup salju." Matanya mulai menutup dan bibirnya tersenyum.

Mataku malah tidak mau terpejam. Aku yang sudah membayangkan kenyaman bus untuk tidur malah tak bisa memejamkan mata. Tokyo yang ramai memang layaknya kota-kota besar seperti Jakarta. Macet tentu saja ada di Tokyo hanya mereka lebih teratur dalam menunggu bus bahkan berjalan di tempat yang seharusnya. Aku sudah dapat merasakan perbedaan orang jepang dengan yang bukan seperti aku dan Rana. Bisa dilihat dari gaya mereka berjalan yang selalu cepat dan kesannya terburu-buru. Mungkin pepatah yang mengatakan 'waktu adalah uang' berlaku di Tokyo ini.

Rumah besar bergaya khas Jepang dengan bendera di pucuk tiang yang menjulang hampir setinggi atap rumah di depan gerbang . Halaman luas hampir ditutupi salju sudah terlihat di depan mata kami. Beberapa orang keluar dan seseorang dengan baju seragam yang hampir sama dengan dua orang lainnya menyapa Rana. Aku lihat Rana menunjukkan ponselnya dan dibalas senyuman oleh seorang yang terlihat sebagai pelayan atau tepatnya penjaga rumah seperti yang diceritakan Rana. Penjaga rumah itu  membawakan koper kami ke dalam. Rumah yang sangat indah terlihat ornament asli Jepang berwarna merah dan bunga-bunga seperti sakura yang menghiasi dinding depan rumah. Aku dan Rana mengikuti penjaga rumah yang akhirnya aku ketahui orang Indonesia dengan dua anaknya yang mulai remaja. Rupanya ia sudah lama tinggal dan menjadi pelayan di rumah ini yang juga kepunyaan orang Indonesia-Jepang. Pak Bambang nama penjaga rumah itu mengajak kami ke dalam rumah yang jauh lebih hangat daripada diluar. Setiap rumah di Jepang  memiliki penghangat ruangan, berbeda dengan Indonesia yang justru memiliki pendingin ruangan di rumah mereka. Ada tiga kamar tidur di dalamnya aku diberi kamar tepat di depan ruang makan dan Rana dekat dengan ruang tamu yang tadi kami masuki.  Ruang makan dilengkapi dengan meja makan dengan konsep mewah.  Meja itu panjang berbentuk oval dilapisi kaca yang di dalam kaca kita bisa melihat aneka hiasan kipas dan ornament Jepang dalam bentuk mini. Mulai dari yukata dan porselin cantik yang kecil. Kursi makan yang didominasi warna putih berukir disisi-sisinya membuat kesan elegan. Selera yang sangat berkelas pastinya siempunya rumah orang kaya dengan penghasilan yang luar biasa.

Rumah yang didominasi warna putih ini terlihat bersih dan rapi, menandakan bahwa pemiliknya adalah orang yang menjaga kebersihan dan tahu penataan rumah yang baik. Konsep budaya yang sangat kental diambil untuk rumah yang memang hanya dihuni oleh pelayan dan anak-anaknya. Kalau dipikir-pikir enak yah jadi pelayan disini bisa merasakan tinggal di rumah mewah digaji pula. Hahahhahaha pikiran yang sungguh konyol.

"Aku sudah telepon temanku waktu pertama tiba di bandara tadi. Dia bilang kita bisa tinggal disini selama yang kita mau, tapi dia tidak bisa datang kesini karena ia ternyata sedang di luar negeri."  Kata Rana yang membuyarkan keasyikanku mengamati konsep rumah ini. Di atas meja makan sudah ada berbagai macam makanan khas Jepang. Aku sudah sering makan yang khas Jepang. Waktu aku  kecil dan  sushi ibuku adalah yang terbaik karena terbukti dari semua restoran yang aku cicipi tidak ada yang seenak buatan ibu. Rana langsung mengisi piringnya dengan berbagai macam jenis makanan dan duduk manis di depan piringnya sambil tersenyum padaku. Aku yang mengerti maksudnya langsung memulai berdoa untuk makan malam kami yang mewah ini.

"Sebenarnya ada yang mau aku bicarakan dari awal kita di bandara Soekarno-Hatta dengan kamu." kata Rana di tengah acara makan malam kami. Wajahnya menatapku yang asyik dengan makanan yang memenuhi piring.

"Ada apa? Bilang aja,"jawabku masih asyik dengan semangkuk sup kozuyu. Sup  ini luar biasa enak sekali penuh dengan seafood. Pedasnya sangat pas dengan selera lidahku hangat dan dapat meredam rasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun